Do the Best in your life, don't give up and keep smiling :D

Selasa, 25 Juni 2013

Makalah superovulasi

MAKALAH TEKNOLOGI REPRODUKSI
TEKNIK SUPEROVULASI






OLEH :
KELOMPOK IV

 FANDI RESTU M                          D1E009184
MUHAMAD NUR SIDIK                D1E011139
DINDA YOSI AMANDA                D1E011179
RISMAN ISMAIL                            D1E011014
MUHAMMAD ROSDIAN U          D1E011066
VANY SILVANA F                         D1E011105
INDRA GUNAWAN                       D1E011165
NANIK TRIYATI S                          D1E011247
SHELLY JUM’ANIAR                    D1E011264




KEMENTERIAN  PENDIDIKAN  DAN  KEBUDAYAAN  NASIONAL
FAKULTAS  PETERNAKAN
UNIVERSITAS  JENDERAL  SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2013








BAB I
PENDAHULUAN
1.1.   Latar Belakang
Dalam upaya menjadikan subsektor peternakan sebagai pendorong kemandirian Pertanian Nasional, dibutuhkan terobosan pengembangan sistem peternakan. Dalam percepatan penciptaan bibit unggul ternak, aplikasi bioteknologi reproduksi pada taraf rekayasa proses dan rekayasa genetik seperti MOET (Multiple Ovulation  and Embyo Transfer) , IVF (In Vitro Vertilization), transfer inti, menjadi pilihan strategis yang sangat tepat.
Ternak sapi secara alami hanya dapat menghasilkan anak 6-8 ekor sepanjang hidupnya, meskipun sebenarnya memiliki puluhan ribu potensi oosit. Dalam ovarium sapi terdapat sekitar 140.000 oosit sampai sapi mencapai umur empat sampai enam tahun dan kemudian jumlahnya menurun sampai 25.000 pada umur 10 sampai 14 tahun dan mendekati nol pada umur 20 tahun.
Potensi oosit sapi yang cukup banyak tersebut dapat dioptimalkan dengan introduksi bioteknologi reproduksi antara lain melalui superovulasi (SOV), sehingga sapi unggul dapat menghasilkan anak jauh lebih banyak semasa hidupnya. Superovulasi adalah upaya stimulasi perkembangan folikel dan induksi ovulasi ganda dengan penggunaan hormonal seperti gonadotrophin.
Salah satu masalah utama dalam  program transfer embrio adalah tingginya   variabilitas respon terhadap superovulasi pada induk donor. Padahal kuantitas dan kualitas embrio donor sangat berpengaruh terhadap keberhasilan transfer embrio. Superovulasi merupakan kunci keberhasilan transfer embrio dan tidak hanya ditentukan oleh tingginya laju ovulasi dan jumlah embrio yang diperoleh, tetapi superovulasi dipengaruhi juga oleh berbagai faktor seperti faktor-faktor yang mempengaruhi respon superovulasi pada induk donor, faktor yang mempengaruhi fertilisasi dan viabilitas embrio serta faktor yang berhubungan dengan manajemen induk donor. Hormon yang umum digunakan untuk menginduksi superovulasi pada sapi adalah Follicle Stimulating Hormone (FSH) yang berasal dari hipofisa. FSH merupakan hormon glikoprotein yang mempunyai waktu paruh yang pendek, sehingga memerlukan pemberian secara berulang untuk merangsang aktivitas folikel secara lebih efisien. Berbagai penelitian pengaruh pemberian hormon terhadap respon superovulasi pada induk donor telah dilakukan yaitu dengan menggunakan PMSG, FSH Ovagen, FSH-PTM (FSH from pituitary) baik pada sapi potong maupun sapi perah . Berdasarkan latar belakang tersebut, memerlukan pembahasan lebih lanjut.
1.2.   Tujuan
1.      Mengetahui fungsi dari pengaplikasian teknik super ovulasi dan induksi ovulasi.
2.      Mengetahui hormon- hormon yang di gunakan dalam teknik super ovulasi.
3.      Mengetahui cara melakukan superovulasi dan induksi ovulasi pada ternak.
1.3.   Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud superovulasi?
2.      Hormon apa saja yang digunakan dalam teknik superovulasi?
3.      Faktor apa saja yang dapat mempengaruhi keberhasilan superovulasi?
4.      Bagaimana tingkat keberhasilan teknik superovulasi?









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
  Superovulasi adalah ovulasi sejumlah besar ovum dari seekor betina pada suatu saat dengan penggunaan berbagai hormone. Hormone-hormon tersebut adalah Pregnant Mare Serum (PMSG) atau Follicle Stimulating Hormone (FSH), untuk merangsang pertumbuhan folikular yang di ikuti oleh luteinizing hormone (LH) atau human chorionic gonadotrophin (HCG) untuk merangsang ovulasi (Frandson,1992)
Sampai saat ini terdapat 2 tipe hormon yang paling sering digunakan untuk tujuan superovulasi yakni pregnant mare serum gonadotrophin (PMSG) dan follicle stimulating hormone (FSH). Kedua hormon ini masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Bila dibandingkan dengan penggunaan PMSG, respon ovarium terhadap hormon FSH biasanya lebih baik karena lebih banyak menghasilkan ovulasi, jumlah folikel anovulasi lebih sedikit, lebih banyak embrio yang dapat diperoleh, dan kualitas embrio lebih baik. Kelemahan dari FSH adalah dapat sukar diperoleh di pasar domestik, harganya relatif mahal, dan pemberiannya harus berulang-ulang sehingga mengakibatkan stress dan menurunkan kualitas embrio (Putro, 1996).
Menurut  Hunter (1995),  hormon yang umum digunakan untuk menginduksi superovulasi pada sapi adalah Follicle Stimulating Hormone (FSH) yang berasal dari hipofisa. FSH merupakan hormone glikoprotein yang mempunyai waktu paruh yang pendek, sehingga memerlukan pemberian secara berulang untuk merangsang aktivitas folikel secara lebih efisien. Tahapan superovulasi adalah sebagai berikut:
1.      Sinkronisasi berahi; Penyuntikan hormone Prostaglandin (PG) sebanyak 2 kali dengan jarak waktu 11 hari.
2.      Superovulasi; Penyuntikan PMSG pada hari ke-10 setelah terjadi berahi, dilanjutkan dengan penyuntikan Prostaglandin pada hari ke-2 setelah penyuntikan PMSG dan langsung dicampur dengan pejantan (dilakukan pengamatan perkawinan).
Faktor intrinsik meliputi genetika (keturunan dan individu hewan yang lebih atau kurang sensitif terhadap gonadotropin), fisiologis karakteristik (termasuk usia, kondisi ovarium atau folikular dominasi, dan populasi folikel pada saat superovulasi), status gizi (tubuh kondisi dan defisit atau kelebihan zat gizi) dan kondisi sanitasi (ovarium, rahim dan saluran telur patologi).
Faktor ekstrinsik mencakup penggunaan berbeda komersial persiapan FSH (rekombinan atau hipofisis yang diturunkan FSH dengan berbagai jumlah LH, EKG, HMG, dan inhibin), dosis, rute dari aplikasi, musim, dan manajemen pertanian (Sorensen, 1979). Ketat evaluasi pengaruh ini faktor produksi embrio dapat memberikan kontribusi yang lebih baik merencanakan program transfer embrio, dengan lebih perhatian diberikan kepada faktor yang paling relevan.
Inisiasi sebuah folikel gelombang menggunakan perawatan ini memungkinkan awal superstimulation pada tahap acak dari oestrous siklus (Lauria, 1982). GnRH pengobatan dan ablasi folikel pada setiap tahap dari siklus oestrous menawarkan keuntungan dari initiating superstimulatory pengobatan segera dan memastikan bahwa pengobatan bertepatan dengan saat munculnya gelombang folikel sehingga suatu respon superovulatory yang optimal dapat dicapai. Selanjutnya, siklus oestrous seluruh tersedia untuk superstimulation, menghilangkan kebutuhan untuk deteksi estrus dan menunggu 8 sampai 12 hari sebelum memulai pengobatan gonadotropin (Amstrong, 1983.).
Jumlah embrio ditransfer dikumpulkan tidak meningkat oleh pengobatan GnRH dan follicular aspirasi 2 hari sebelum superstimulation, meskipun respon ovulasi meningkat perawatan ini (Lauria, 1982). Efeknya sinkronisasi folikular dengan GnRH pada horMonal dan folikel respon sebelum dan selama superovulasi telah ditandai (Lauria, 1982.) tetapi pengaruhnya terhadap produksi embrio memilikibelum didefinisikan dengan jelas.

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.   Hasil

Keterangan : Gambar 1 ( Hormon FSH untuk injeksi )
                       Gambar 2 ( Hormon FSH untuk implant)
Metode yang digunakan : Injeksi dan Implan
3.2.     Pembahasan
Superovulasi masih merupakan suatu cara yang paling umum digunakan untuk meningkatkan jumlah keturunan dari sapi betina unggul secara cepat, selain itu  superovulasi sering juga disebut multipleovulasi yaitu salah satu upaya meningkatkan efisiensi reproduksi, terutama terhadap hewan yang secara alami tergolong beranak tunggal. Istilah superovulasi lebih populer daripada multipleovulasi. Pada multipleovulasi cenderung hanya mengacu pada arti kwantitas atau jumlah yang lebih banyak. Sedang superovulasi dapat meliput kedua pengertian, yaitu kwantitas dan kwalitas atau lebih baik dan lebih banyak,  dengan pengertian bahwa dalam program superovulasi sekaligus melakukan seleksi, memilih hanya terhadap hewan yang mempunyai nilai genetis superior (dijadikan induk donor) yang dilipatgandakan jumlah sel telurnya setiap kali peristiwa ovulasi. Kemudian dilakukan insemenasi buatan, IB (fertilisasi in vivo) sehingga diperolah embrio dengan kwalitas unggul dan jumlah lebih banyak, yang selanjutnya dicangkok (transfer embrio) pada induk-induk resipen.
Sementara ini superovulasi baru diterapkan pada spesies sapi dalam program breeding untuk menunjang pemberdayaan bioteknologi reproduksi transfer embrio. Berbagai faktor banyak yang mempengaruhi keberhasilan perolehan embrio, antara lain adalah respon individu dari sapi donor tersebut terhadap perlakuan hormonal. Respon individu sapi donor banyak dipengaruhi kecermatan memilih waktu yang tepat, saat terjadinya gelombang folikuler yang terjadi pada setiap siklus birahi.
Berdasarkan teori masa lalu, gelombang folikuler diperkirakan terjadi pada pertengahan siklus birahi yang sekaligus pertengahan fase luteal, yaitu berkisar antara hari ke 9 sampai ke 12 mengacu pada lamanya siklus birahi sapi yang rata-rata 21 hari (18-24 hari). Hari-hari antara 9-12 itulah yang sementara ini diyakini sebagai hari-hari baik untuk melaksanakan program superovulasi, yang hasilnya ternyata juga tidak pasti atau bersifat untung-untungan. Pada penelitian terbaru ternyata gelombang folikuler tidak selalu terjadi pada petengahan siklus birahi dan pertengahan fase luteal sebagaimana keyakinan selama ini. Lebih dari itu gelombang folikuler juga tidak hanya teradi satu kali saja. Tergantung fertilitas masing-masing individu, pada sapi terdapat tiga pola gelombang folikuler, yaitu masing-masing satu, dua atau tiga gelombang folikuler .
Superovulasi adalah suatu usaha yang dilakukan untuk mendapatkan ovum  lebih banyak dibandingkan dengan keadaan normalnya dengan memberikan hormon dari luar , untuk merangsang terjadinya ovulasi ganda, maka diberikan hormon superovulasi sehingga diperoleh ovulasi sel telur dalam jumlah besar. Hormon yang banyak digunakan untuk rekayasa superovulasi adalah hormon gonadotropin seperti Pregnant Mare’s Serum Gonadotripin (PMSG) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH). Penyuntikan hormon gonadotropin akan meningkatkan perkembangan folikel pada ovarium (folikulogenesis) dan pematangan folikel sehingga diperoleh ovulasi sel telur yang lebih banyak. Hormon FSH mempunyai waktu paruh hidup dalam induk sapi antara 2-5 jam. Pemberian FSH dilakukan sehari dua kali yaitu pada pagi dan sore hari selama 4 hari dengan dosis 28 - 50 mg (tergantung berat badan). Perlakuan superovulasi dilakukan pada hari ke sembilan sampai hari ke 14 setelah berahi.
          Menurut Hunter  (1995), FSH berfungsi merangsang pertumbuhan folikel yang muda menjadi matang, sehingga dapat diovulasikan dan siap difertilisasi setelah inseminasi. Penyuntikan FSH (pituitary FSH) dengan dosis menurun dan pada 48 jam sesudahnya diberi pada sapi Holstein juga menghasilkan jumlah embrio hasil koleksi dan jumlah embrio layak transfer yang lebih tinggi dibandingkan dengan penyuntikan tunggal (Takedomi et al., 1993). Dhanani et al. (1991) melakukan penyuntikan FSH terhadap sapi Brahman menghasilkan jumlah CL rata-rata sebesar 10,6 per induk, jumlah embrio koleksi sebanyak 7,2 dan jumlah embrio layak transfer sebanyak 5,5 embrio per induk.
Superovulasi di Balai Embrio Ternak sudah lama dilakukan sejak Balai Embrio Ternak tersebut berdiri. Superovulasi yang telah dilakukan menggunakan 2 metode  yaitu metode injeksi dan implan. Metode injeksi dengan menyuntikkan ternak sapi di bagian subcutan dan metode implant dengan cara memasukkan sidar yang telah mengandung hormon FSH ke bagian tuba fallopi ternak sapi tersebut.
Superovulasi dapat diinduksi secara buatan melalui pemberian hormon  gonadotropin eksogen (berasal dari luar tubuh), misalnya Follicle Stimulating
Hormon (FSH) dan Pregnant Mare Serum Gonadotropine (PMSG). Pemberian hormon tersebut dengan dosis tertentu akan menstimulasi proses pertumbuhan, perkembangan, pematangan dan ovulasi dari sejumlah besar folikel  pada ternak sapi. Betina donor diinjeksikan setiap hari dengan FSH yang dapat berasal dari ekstrak hipofise babi dan domba atau dari ekstrak hipofise sapi. Donor tertentu akan memerlukan penambahan LH selain FSH, namun umumnya preparat FSH yang dijual sudah  ditambahkan dengan LH. (Lopez, 2005)
Preparat hormon yang sudah sering digunakan dan diteliti untuk superovulasi adalah preparat hormon PMSG.Tetapi memiliki beberapa efek samping yang dapat menyebabkan gangguan reproduksi seperti terjadinya folikel sistik. Dosis yang terlalu tinggi pada superovulasi dapat menyebabkan stimulasi ovarium yang berkepanjangan, hal  ini dapat menimbulkan sistik folikel dan dapat pula menimbulkan berkurangnya kualitas sel telur yang dihasilkan (Hermadi et al., 2005). Maka diperlukan hormon alternatif seperti hMG (Human Menopause Gonadotropin)yang memiliki fungsi FSH-LH like dengan proporsi yang lebih seimbang dan diharapkan dapat memperkecil ataupun meniadakan jumlah folikel yang tidak terovulasikan.
Parameter keberhasilan suatu usaha superovulasi dapat dilihat dari beberapa
faktor. Salah satu faktor yang diperiksa untuk menentukan faktor keberhasilan  superovulasi adalah penghitungan korpus luteum (CL) yang ada. Penghitungan CL sering dipakai pada penelitian mengenai superovulasi untuk mengukur keberhasilan superovulasi. Korpus luteum merupakan kelanjutan dari rongga folikel yang telah  berovulasi yang mengalami proses luteinisasi yang membentuk tenunan–tenunan dan mensekresikan hormon progesteron. (Hardopranjoto, 1995). Sehingga dengan menghitung jumlah CL yang ada maka dapat diketahui tingkat keberhasilan hormon gonadotropin dalam menginduksi folikel-folikel yang berovulasi pada usaha superovulasi. Faktor lainnya adalah jumlah embrio yang didapat setelah diflushing.  Efisiensi dari usaha superovulasi sendiri terpengaruhi oleh adanya abnormalitas yang  muncul, seperti adanya folikel anovulatorik atau folikel sisa / yang tidak terovulasikan dari superovulasi (Lopez A. et al., 2005).



BAB III
PENUTUP
3.1.     Kesimpulan
Superovulasi merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk mendapatkan ovum  lebih banyak dibandingkan dengan keadaan normalnya dengan memberikan hormon dari luar, Tahapan superovulasi adalah sebagai berikut:
1.      Sinkronisasi berahi; Penyuntikan hormone Prostaglandin (PG) sebanyak 2 kali dengan jarak waktu 11 hari.
2.      Superovulasi; Penyuntikan PMSG pada hari ke-10 setelah terjadi berahi, dilanjutkan dengan penyuntikan Prostaglandin pada hari ke-2 setelah penyuntikan PMSG dan langsung dicampur dengan pejantan (dilakukan pengamatan perkawinan).
Hormon yang banyak digunakan untuk rekayasa superovulasi adalah hormon gonadotropin seperti Pregnant Mare’s Serum Gonadotripin (PMSG) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH).
3.2.     Saran
                    1.   Metode superovulasi tidak boleh terlalu sering dilakukan karena dapat merusak siklus ovulasi terhadap ternak tersebut.









DAFTAR PUSTAKA
Hunter, R. H. F., 1995. Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik.
              Penerbit ITB. Bandung.p: 42, 51 – 56, 73 – 97, 281
Lopez.A, Veiga., Bulnes A., Gonzales et al. 2005. Causes, characteristics and
  consequences of anovulatory follicles in superovulated sheep. Domestic Animal endocrinology Feb; 30 (2); 76-78.
Hermadi HA, 2003. Ujicoba PMSG Trans Ovari untuk Kasus Hypofungsi Ovarium
              Sapi Perah. Hibah Bersaing 2003 Universitas Airlangga.
Hardjopranjoto, S., 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Airlangga University Press,
              Surabaya
Frandson,R.D.1992.Anatomi dan fisiologi ternak. Gajah Mada University perss:
              Yogyakarta
Putro, P.P. 1996. Teknik superovulasi untuk transfer embrio pada sapi. Bull. FKH UGM XIV(1):1-20.
Sorensen, A.M. 1979. Animal Reproduction Principles and Pratices. H.C. Grow –
              Hill Book Company P. 212,346 – 353.
Lauria, A.A., A. Genazzani, O. Oliva, P. Inandi, F. Cremonesi, and C. Monitola.

1982a. Clinical and endocrinological investigations on superovulation induced in heifers by human menopausal gonadotropin (HMG). J. Reprod. Fertil. 66.219