MAKALAH
TEKNOLOGI REPRODUKSI
TEKNIK SUPEROVULASI
OLEH :
KELOMPOK IV
FANDI RESTU M D1E009184
MUHAMAD NUR SIDIK D1E011139
DINDA YOSI AMANDA D1E011179
RISMAN ISMAIL D1E011014
MUHAMMAD ROSDIAN U D1E011066
VANY SILVANA F D1E011105
INDRA GUNAWAN D1E011165
NANIK TRIYATI S D1E011247
SHELLY JUM’ANIAR D1E011264
KEMENTERIAN PENDIDIKAN
DAN KEBUDAYAAN NASIONAL
FAKULTAS
PETERNAKAN
UNIVERSITAS JENDERAL
SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Dalam
upaya menjadikan subsektor peternakan sebagai pendorong kemandirian Pertanian
Nasional, dibutuhkan terobosan pengembangan sistem peternakan. Dalam percepatan
penciptaan bibit unggul ternak, aplikasi bioteknologi reproduksi pada taraf
rekayasa proses dan rekayasa genetik seperti MOET (Multiple Ovulation and Embyo Transfer) , IVF (In Vitro
Vertilization), transfer inti, menjadi pilihan strategis yang sangat tepat.
Ternak
sapi secara alami hanya dapat menghasilkan anak 6-8 ekor sepanjang hidupnya,
meskipun sebenarnya memiliki puluhan ribu potensi oosit. Dalam ovarium sapi
terdapat sekitar 140.000 oosit sampai sapi mencapai umur empat sampai enam tahun
dan kemudian jumlahnya menurun sampai 25.000 pada umur 10 sampai 14 tahun dan
mendekati nol pada umur 20 tahun.
Potensi
oosit sapi yang cukup banyak tersebut dapat dioptimalkan dengan introduksi
bioteknologi reproduksi antara lain melalui superovulasi (SOV), sehingga sapi
unggul dapat menghasilkan anak jauh lebih banyak semasa hidupnya. Superovulasi
adalah upaya stimulasi perkembangan folikel dan induksi ovulasi ganda dengan
penggunaan hormonal seperti gonadotrophin.
Salah
satu masalah utama dalam program
transfer embrio adalah tingginya
variabilitas respon terhadap superovulasi pada induk donor. Padahal
kuantitas dan kualitas embrio donor sangat berpengaruh terhadap keberhasilan
transfer embrio. Superovulasi merupakan kunci keberhasilan transfer embrio dan
tidak hanya ditentukan oleh tingginya laju ovulasi dan jumlah embrio yang
diperoleh, tetapi superovulasi dipengaruhi juga oleh berbagai faktor seperti
faktor-faktor yang mempengaruhi respon superovulasi pada induk donor, faktor
yang mempengaruhi fertilisasi dan viabilitas embrio serta faktor yang
berhubungan dengan manajemen induk donor. Hormon yang umum digunakan untuk
menginduksi superovulasi pada sapi adalah Follicle Stimulating Hormone (FSH)
yang berasal dari hipofisa. FSH merupakan hormon glikoprotein yang mempunyai
waktu paruh yang pendek, sehingga memerlukan pemberian secara berulang untuk
merangsang aktivitas folikel secara lebih efisien. Berbagai penelitian pengaruh
pemberian hormon terhadap respon superovulasi pada induk donor telah dilakukan
yaitu dengan menggunakan PMSG, FSH Ovagen, FSH-PTM (FSH from pituitary) baik
pada sapi potong maupun sapi perah . Berdasarkan latar belakang tersebut,
memerlukan pembahasan lebih lanjut.
1.2. Tujuan
1. Mengetahui
fungsi dari pengaplikasian teknik super ovulasi dan induksi ovulasi.
2. Mengetahui
hormon- hormon yang di gunakan dalam teknik super ovulasi.
3. Mengetahui
cara melakukan superovulasi dan induksi ovulasi pada ternak.
1.3.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud
superovulasi?
2. Hormon apa saja yang
digunakan dalam teknik superovulasi?
3. Faktor apa saja yang
dapat mempengaruhi keberhasilan superovulasi?
4. Bagaimana tingkat
keberhasilan teknik superovulasi?
TINJAUAN PUSTAKA
Superovulasi adalah ovulasi sejumlah
besar ovum dari seekor betina pada suatu saat dengan penggunaan berbagai
hormone. Hormone-hormon tersebut adalah Pregnant
Mare Serum (PMSG) atau Follicle Stimulating Hormone (FSH), untuk merangsang
pertumbuhan folikular yang di ikuti oleh luteinizing
hormone (LH) atau human chorionic
gonadotrophin (HCG) untuk merangsang ovulasi (Frandson,1992)
Sampai
saat ini terdapat 2 tipe hormon yang paling sering digunakan untuk tujuan
superovulasi yakni pregnant mare serum gonadotrophin (PMSG) dan follicle
stimulating hormone (FSH). Kedua hormon ini masing-masing mempunyai
kelebihan dan kekurangan. Bila dibandingkan dengan penggunaan PMSG, respon
ovarium terhadap hormon FSH biasanya lebih baik karena lebih banyak menghasilkan
ovulasi, jumlah folikel anovulasi lebih sedikit, lebih banyak embrio yang dapat
diperoleh, dan kualitas embrio lebih baik. Kelemahan dari FSH adalah dapat
sukar diperoleh di pasar domestik, harganya relatif mahal, dan pemberiannya
harus berulang-ulang sehingga mengakibatkan stress dan menurunkan kualitas
embrio (Putro, 1996).
Menurut
Hunter (1995), hormon yang umum digunakan untuk menginduksi
superovulasi pada sapi adalah Follicle Stimulating Hormone (FSH) yang
berasal dari hipofisa. FSH merupakan hormone glikoprotein yang mempunyai waktu
paruh yang pendek, sehingga memerlukan pemberian secara berulang untuk
merangsang aktivitas folikel secara lebih efisien. Tahapan superovulasi adalah
sebagai berikut:
1. Sinkronisasi
berahi; Penyuntikan hormone Prostaglandin (PG) sebanyak 2 kali dengan jarak
waktu 11 hari.
2. Superovulasi;
Penyuntikan PMSG pada hari ke-10 setelah terjadi berahi, dilanjutkan dengan
penyuntikan Prostaglandin pada hari ke-2 setelah penyuntikan PMSG dan langsung
dicampur dengan pejantan (dilakukan pengamatan perkawinan).
Faktor intrinsik meliputi genetika (keturunan dan
individu hewan yang lebih atau kurang sensitif terhadap gonadotropin),
fisiologis karakteristik (termasuk usia, kondisi ovarium atau folikular
dominasi, dan populasi folikel pada saat superovulasi), status gizi (tubuh
kondisi dan defisit atau kelebihan zat gizi) dan kondisi sanitasi (ovarium,
rahim dan saluran telur patologi).
Faktor ekstrinsik mencakup penggunaan berbeda komersial persiapan FSH
(rekombinan atau hipofisis yang diturunkan FSH dengan berbagai jumlah LH, EKG,
HMG, dan inhibin), dosis, rute dari aplikasi, musim, dan manajemen pertanian (Sorensen,
1979). Ketat evaluasi pengaruh ini faktor produksi embrio dapat memberikan
kontribusi yang lebih baik merencanakan program transfer embrio, dengan lebih
perhatian diberikan kepada faktor yang paling relevan.
Inisiasi sebuah folikel gelombang menggunakan perawatan ini memungkinkan
awal superstimulation pada tahap acak dari oestrous siklus (Lauria, 1982). GnRH
pengobatan dan ablasi folikel pada setiap tahap dari siklus oestrous menawarkan
keuntungan dari initiating
superstimulatory pengobatan segera dan memastikan bahwa pengobatan
bertepatan dengan saat munculnya gelombang folikel sehingga suatu respon
superovulatory yang optimal dapat dicapai. Selanjutnya, siklus oestrous seluruh
tersedia untuk superstimulation, menghilangkan kebutuhan untuk deteksi estrus
dan menunggu 8 sampai 12 hari sebelum memulai pengobatan gonadotropin (Amstrong,
1983.).
Jumlah embrio ditransfer dikumpulkan tidak meningkat oleh pengobatan GnRH
dan follicular aspirasi 2 hari sebelum superstimulation, meskipun respon
ovulasi meningkat perawatan ini (Lauria, 1982). Efeknya sinkronisasi folikular
dengan GnRH pada horMonal dan folikel respon sebelum dan selama superovulasi
telah ditandai (Lauria, 1982.) tetapi pengaruhnya terhadap produksi embrio
memilikibelum didefinisikan dengan jelas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil
Keterangan
: Gambar 1 ( Hormon FSH untuk injeksi )
Gambar
2 ( Hormon FSH untuk implant)
Metode yang digunakan :
Injeksi dan Implan
3.2.
Pembahasan
Superovulasi masih
merupakan suatu cara yang paling umum digunakan untuk meningkatkan jumlah
keturunan dari sapi betina unggul secara cepat, selain itu superovulasi
sering juga disebut multipleovulasi yaitu salah satu upaya meningkatkan
efisiensi reproduksi, terutama terhadap hewan yang secara alami tergolong
beranak tunggal. Istilah superovulasi lebih populer daripada multipleovulasi.
Pada multipleovulasi cenderung hanya mengacu pada arti kwantitas atau jumlah
yang lebih banyak. Sedang superovulasi dapat meliput kedua pengertian, yaitu
kwantitas dan kwalitas atau lebih baik dan lebih banyak, dengan
pengertian bahwa dalam program superovulasi sekaligus melakukan seleksi,
memilih hanya terhadap hewan yang mempunyai nilai genetis superior (dijadikan
induk donor) yang dilipatgandakan jumlah sel telurnya setiap kali peristiwa
ovulasi. Kemudian dilakukan insemenasi buatan, IB (fertilisasi in vivo)
sehingga diperolah embrio
dengan kwalitas unggul dan jumlah lebih banyak, yang selanjutnya dicangkok (transfer embrio) pada induk-induk resipen.
Sementara ini superovulasi baru diterapkan pada spesies
sapi dalam program breeding untuk menunjang pemberdayaan bioteknologi
reproduksi transfer embrio. Berbagai faktor banyak yang mempengaruhi
keberhasilan perolehan embrio, antara lain adalah respon individu dari sapi
donor tersebut terhadap perlakuan hormonal. Respon individu sapi donor banyak
dipengaruhi kecermatan memilih waktu yang tepat, saat terjadinya gelombang folikuler
yang terjadi pada setiap siklus birahi.
Berdasarkan teori masa lalu, gelombang folikuler
diperkirakan terjadi pada pertengahan siklus birahi yang sekaligus pertengahan
fase luteal, yaitu berkisar antara hari ke 9 sampai ke 12 mengacu pada lamanya
siklus birahi sapi yang rata-rata 21 hari (18-24 hari). Hari-hari antara 9-12
itulah yang sementara ini diyakini sebagai hari-hari baik untuk melaksanakan
program superovulasi, yang hasilnya ternyata juga tidak pasti atau bersifat
untung-untungan. Pada penelitian terbaru ternyata gelombang folikuler tidak
selalu terjadi pada petengahan siklus birahi dan pertengahan fase luteal
sebagaimana keyakinan selama ini. Lebih dari itu gelombang folikuler juga tidak
hanya teradi satu kali saja. Tergantung fertilitas masing-masing individu, pada
sapi terdapat tiga pola gelombang folikuler, yaitu masing-masing satu, dua atau
tiga gelombang folikuler .
Superovulasi
adalah suatu usaha yang dilakukan untuk mendapatkan ovum lebih banyak dibandingkan dengan keadaan
normalnya dengan memberikan hormon dari luar , untuk
merangsang terjadinya ovulasi ganda, maka diberikan hormon superovulasi
sehingga diperoleh ovulasi sel telur dalam jumlah besar. Hormon yang banyak
digunakan untuk rekayasa superovulasi adalah hormon gonadotropin seperti Pregnant Mare’s Serum Gonadotripin
(PMSG) dan Follicle Stimulating Hormone
(FSH). Penyuntikan hormon gonadotropin akan meningkatkan perkembangan folikel
pada ovarium (folikulogenesis) dan pematangan folikel sehingga diperoleh
ovulasi sel telur yang lebih banyak. Hormon FSH mempunyai waktu paruh hidup
dalam induk sapi antara 2-5 jam.
Pemberian FSH dilakukan sehari dua kali yaitu pada pagi dan sore hari selama 4
hari dengan dosis 28 - 50 mg (tergantung berat badan). Perlakuan superovulasi
dilakukan pada hari ke sembilan sampai hari ke 14 setelah berahi.
Menurut
Hunter (1995), FSH berfungsi merangsang
pertumbuhan folikel yang muda menjadi matang, sehingga dapat diovulasikan dan
siap difertilisasi setelah inseminasi. Penyuntikan FSH (pituitary FSH) dengan
dosis menurun dan pada 48 jam sesudahnya diberi pada sapi Holstein juga
menghasilkan jumlah embrio hasil koleksi dan jumlah embrio layak transfer yang
lebih tinggi dibandingkan dengan penyuntikan tunggal (Takedomi et al.,
1993). Dhanani et al. (1991) melakukan penyuntikan FSH terhadap sapi
Brahman menghasilkan jumlah CL rata-rata sebesar 10,6 per induk, jumlah embrio
koleksi sebanyak 7,2 dan jumlah embrio layak transfer sebanyak 5,5 embrio per
induk.
Superovulasi
di Balai Embrio Ternak sudah lama dilakukan sejak Balai Embrio Ternak tersebut
berdiri. Superovulasi yang telah dilakukan menggunakan 2 metode yaitu metode injeksi dan implan. Metode
injeksi dengan menyuntikkan ternak sapi di bagian subcutan dan metode implant
dengan cara memasukkan sidar yang telah mengandung hormon FSH ke bagian tuba
fallopi ternak sapi tersebut.
Superovulasi
dapat diinduksi secara buatan melalui pemberian hormon gonadotropin eksogen (berasal dari luar
tubuh), misalnya Follicle Stimulating
Hormon (FSH) dan
Pregnant Mare Serum Gonadotropine (PMSG). Pemberian hormon tersebut dengan
dosis tertentu akan menstimulasi proses pertumbuhan, perkembangan, pematangan
dan ovulasi dari sejumlah besar folikel pada
ternak sapi. Betina donor diinjeksikan setiap hari dengan FSH yang dapat berasal
dari ekstrak hipofise babi dan domba atau dari ekstrak hipofise sapi. Donor
tertentu akan memerlukan penambahan LH selain FSH, namun umumnya preparat FSH
yang dijual sudah ditambahkan dengan LH.
(Lopez, 2005)
Preparat
hormon yang sudah sering digunakan dan diteliti untuk superovulasi adalah
preparat hormon PMSG.Tetapi memiliki beberapa efek samping yang dapat menyebabkan
gangguan reproduksi seperti terjadinya folikel sistik. Dosis yang terlalu tinggi
pada superovulasi dapat menyebabkan stimulasi ovarium yang berkepanjangan, hal ini dapat menimbulkan sistik folikel dan dapat
pula menimbulkan berkurangnya kualitas sel telur yang dihasilkan (Hermadi et
al., 2005). Maka diperlukan hormon alternatif seperti hMG (Human Menopause Gonadotropin)yang
memiliki fungsi FSH-LH like dengan proporsi yang lebih seimbang dan diharapkan
dapat memperkecil ataupun meniadakan jumlah folikel yang tidak terovulasikan.
Parameter
keberhasilan suatu usaha superovulasi dapat dilihat dari beberapa
faktor. Salah satu
faktor yang diperiksa untuk menentukan faktor keberhasilan superovulasi adalah penghitungan korpus luteum
(CL) yang ada. Penghitungan CL sering dipakai pada penelitian mengenai
superovulasi untuk mengukur keberhasilan superovulasi. Korpus luteum merupakan
kelanjutan dari rongga folikel yang telah berovulasi yang mengalami proses luteinisasi
yang membentuk tenunan–tenunan dan mensekresikan hormon progesteron.
(Hardopranjoto, 1995). Sehingga dengan menghitung jumlah CL yang ada maka dapat
diketahui tingkat keberhasilan hormon gonadotropin dalam menginduksi
folikel-folikel yang berovulasi pada usaha superovulasi. Faktor lainnya adalah
jumlah embrio yang didapat setelah diflushing. Efisiensi dari usaha superovulasi sendiri
terpengaruhi oleh adanya abnormalitas yang muncul, seperti adanya folikel anovulatorik
atau folikel sisa / yang tidak terovulasikan dari superovulasi (Lopez A. et
al., 2005).
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Superovulasi
merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk mendapatkan ovum lebih banyak dibandingkan dengan keadaan
normalnya dengan memberikan hormon dari luar, Tahapan superovulasi adalah
sebagai berikut:
1. Sinkronisasi
berahi; Penyuntikan hormone Prostaglandin (PG) sebanyak 2 kali dengan jarak
waktu 11 hari.
2. Superovulasi;
Penyuntikan PMSG pada hari ke-10 setelah terjadi berahi, dilanjutkan dengan
penyuntikan Prostaglandin pada hari ke-2 setelah penyuntikan PMSG dan langsung
dicampur dengan pejantan (dilakukan pengamatan perkawinan).
Hormon yang
banyak digunakan untuk rekayasa superovulasi adalah hormon gonadotropin seperti
Pregnant Mare’s Serum Gonadotripin
(PMSG) dan Follicle Stimulating Hormone
(FSH).
3.2. Saran
1. Metode
superovulasi tidak boleh terlalu sering dilakukan karena dapat merusak siklus
ovulasi terhadap ternak tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Hunter,
R. H. F., 1995. Fisiologi dan Teknologi
Reproduksi Hewan Betina Domestik.
Penerbit
ITB. Bandung.p: 42, 51 – 56, 73 – 97, 281
Lopez.A, Veiga., Bulnes A., Gonzales et al.
2005. Causes, characteristics and
consequences
of anovulatory follicles in superovulated sheep. Domestic Animal endocrinology Feb; 30 (2);
76-78.
Hermadi HA, 2003. Ujicoba PMSG Trans Ovari untuk Kasus Hypofungsi Ovarium
Sapi Perah. Hibah Bersaing 2003 Universitas Airlangga.
Hardjopranjoto,
S., 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak.
Airlangga University Press,
Surabaya
Frandson,R.D.1992.Anatomi dan fisiologi ternak. Gajah Mada University perss:
Yogyakarta
Putro, P.P. 1996. Teknik superovulasi untuk transfer embrio pada sapi. Bull. FKH UGM XIV(1):1-20.
Sorensen,
A.M. 1979. Animal Reproduction Principles
and Pratices. H.C. Grow –
Hill
Book Company P. 212,346 – 353.
Lauria,
A.A., A. Genazzani, O. Oliva, P. Inandi, F. Cremonesi, and C. Monitola.
1982a. Clinical
and endocrinological investigations on superovulation induced in heifers by
human menopausal gonadotropin (HMG). J.
Reprod. Fertil. 66.219
Tidak ada komentar:
Posting Komentar