MAKALAH MANAJEMEN TERNAK PERAH
MANAJEMEN KESEHATAN di BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK
UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK (BBPTU-HPT) BATURRADEN
Oleh
:
Kelompok
12 C
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS
PETERNAKAN
PROGRAM
STUDI PETERNAKAN
LABORATORIUM
PRODUKSI TERNAK PERAH
PURWOKERTO
2013
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Balai Besar Pembibitan
Ternak Unggul Hijauan Pakan Ternak (BPPTU-HPT) merupakan sebuah instansi milik
pemerintah yang bergerak dalam bidang pemuliaan, produksi, pemeliharaan, dan
pemasaran. Tempat praktikum yang didatangi merupakan salah satu dari empat
tempat BBPTU Sapi perah Baturraden. Daerah yang kami gunakan sebagai tempat
magang adalah farm Tegalsari yang memiliki luas 34 ha. Tiga daerah lain yaitu
terdapat di Munggangsari (10 ha), Limpakuwus (96,7 ha), dan Manggala (100 ha).
Cabang BBPTU yang terdapat di Manggala digunakan sebagai rearing(pembesaran)
bibit yang telah dihasilkan di ketiga daerah pembibitan. Farm Tegalsari
memiliki lahan hijauan 17 ha dari total luas balai. Terdapat 13 tipe kandang
berdasarkan status ternak di BBPTU ini. Kandang A, B, C dikhususkan untuk sapi
dewasa dan sapi laktasi. Kandang D dan F digunakan untuk sapi bunting dan
beranak. Kandang E, E1, E2 digunakan untuk pedet individu dan koloni. Kandang G
untuk dara bunting, kandang H untuk pejantan progeny, kandang I dan J untuk
sapi dara, Kandang vistole untuk sapi laktasi dan kandang K untuk sapi kering.
Jumlah sapi induk di BBPTU adalah 231 ekor, dara (umur >6 bulan) sebanyak 94
ekor, pedet (umur 1-6 bulan) sebanyak 169 ekor, sapi laktasi 116 ekor dan jantan
muda 1 ekor. BPPTU-HPT memiliki laboratorium yang digunakan untuk uji residu
antibiotik, dan uji kualitas susu.
Manajemen ternak sapi perah merupakan hal yang sangat penting. Manajemen
sebagai pedoman agar tidak terjadi kerugian baik secara materi maupun kerugian
secara genetik dan agar terciptanya bibit unggul sapi perah yang akan
menghasilkan produksi susu yang berkualitas baik pula. BPPTU-HPT ini sangat
memperhatikan segala aspek manajemen. Sehingga BPPTU-HPT di Baturraden ini
dipercaya menjadi satu-satunya balai pembibitan sapi perah di Indonesia.
Tujuan dilakukannya praktikum manajemen ternak
perah di BPPTU-HPT Baturraden adalah untuk mengetahui tata laksana pemeliharaan
sapi perah terutama dari segi manajemen kesehatannya. Manajemen kesehatan
merupakan salah satu faktor pendukung dalam pemeliharaan sapi perah di
BPPTU-HPT Baturraden. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas lebih
jelas mengenai manajemen kesehatan di BPPTU-HPT sapi perah Baturraden.
1.2.
Perumusan Masalah
1.
Bagaimana control
kesehatan di BBPTU-HPT Baturraden?
2.
Apa saja
penyakit yang terdapat di BBPTU-HPT Baturraden?
3.
Bagaimana
penanganan dan pengobatan penyakit yang terdapat di BBPTU-HPT?
4.
Bagaimana
upaya menjaga kesehatan ternak di BBPTU-HPT Baturraden?
II. ISI
2.1.
Kontrol Kesehatan
Manajemen kesehatan di
BBPTU-HPT Baturraden dilakukan control kesehatan melalui 3 cara pengujian
sampel yaitu pengujian sampel darah, pengujian sampel feses dan pengujian
cairan vagina. Pengujian sampel darah dilakukan dengan pemngambilan sampel
darah setiap tahun. Sampel darah yang diambil akan di ujikan di Laboratorium
Hematologi. Sampel yang dimasukkan ke dalam alat tersebut membuktikan apakah
sapi tersebut mengalami gangguan kesehatan atau tidak. Alat tersebut disebut hematology
analyzer. Prinsip alat tersebut dapat mendeteksi kelainan komposisi darah.
Kelainan komposisi darah menjadi indikasi apakah sapi tersebut terserang
penyakit atau tidak. Contohnya dari alat tersebut terlihat leukosit nya diatas
normal berarti sapi tersebut terkena infeksi atau stress.
Kontrol kesehatan
lainnya adalah dengan menguji sampel feses dari ternak secara rutin dan
diperiksa apakah terdapat cacing atau tidak. Apabila terdapat cacing maka
langsung ternak tersbut diberi obat cacing. Kontrol penyakit cacing
dilaksanakan setiap dua kali dalam satu tahun tujuannya agar ternak dapat
dengan pasti diidentifikasi apakah terserang penyakit cacing atau tidak. Ensminger
(1991) menyatakan bahwa penyakit cacingan pada ternak banyak dialami oleh
ternak yang dilepas di padang penggembalaan. Di BBPTU-HPT Baturraden, ternak
biasanya di lepas di padang penggembalaan untuk exercise di pagi hari. Sehingga
ternak di sana cukup sering terkena penyakit cacingan. Dengan control dua kali
dalam setahun maka ternak dapat diminimalisir terserang penyakit cacing yang
kronis.
Pengujian sampel
berikutnya adalah pengujian sampel cairan vagina. Untuk mendiagnosa penyakit di
bagian reproduksi maka tim dokter hewan di BBPTU-HPT Baturraden melaksanakan
uji sampel cairan vagina. Apabila cairan vagina tersebut terdapat mikroba
patogen maka ternak bisa jadi mengidap infeksi saluran reproduksi seperti
endrometitis dan penyakit saluran reproduksi lainnya.
Kontrol
kesehatan lainnya yang sangat penting adalah uji mastitis. Uji mastitis di
BBPTU-HPT Baturraden dilakukan setiap satu minggu sekali. Uji mastitis
menggunakan metode CMT (Californian Mastitis Test). metode yang sering dipakai
untuk uji mastitis antara lain Aulendorfer Mastitis Probe (AMP), California
Mastitis Test (CMT), Milk Quality Test (MQT), Michigan Mastitis
Test (MMT), Whiteside Test (WST) (Foley et al. 1972). Tindakan
pencegahan dapat dilakukan dengan menggunakan teknik deteksi mastitis lebih
dini, terutama untuk mastitis subklinis (Sudarwanto, 1998).
2.2.
Penyakit yang Biasa Ditemukan dan
Penanganannya
Penyakit-penyakit yang
biasa ditemukan di BBPTU-HPT Baturraden ada beberapa macam penyakit, yaitu:
1. Penyakit
cacingan
Penyakit
cacingan di BBPTU-HPT Baturraden banyak disebabkan oleh penggembalaan di pagi
hari, dimana hijauan terkontaminasi oleh telur cacing. Hasil control kesehatan
terdapat sapi yang mengalami cacingan dengan gejala seperti: telur cacing
ditemukan di feses, bulu berdiri, dan tubuh kurus. Cacingan apabila dibiarkan
maka dapat mempengaruhi produksi susu. Menurut Ibu Fitri pengelola kesehatan
ternak di BBPTU-HPT Baturraden cacing lambung dapat menyebabkan abortus pada
saat <45hari usia kebuntingan. Penyakit cacingan menurut Spigel (2001) dapat
menurunkan produksi susu sebanyak 15% sehingga perlu ada penanganan serius dari
penyakit ini. Cara mengatasi ternak yang cacingan adalah dengan diberikan obat
Albendasol secara oral.
2. Endometritis
Endometritis merupakan peradangan di bagian
endometrium. Endometritis adalah peradangan pada lapisan
endometrium uterus, biasanya terjadi sebagai suatu hasil dari infeksi bakteri
patogen terutama terjadi melalui vagina dan menerobos serviks sehingga mengkontaminasi uterus selama partus,
membuat involusi uterus menjadi tertunda dan performa reproduksi memburuk.
Sehingga menyebabkan kerugian secara ekonomis.
Radang pada endometrium
uterus ini juga dapat disebabkan infeksi sekunder yang berasal dari bagian lain
tubuh sehingga dapat menyebabkan gangguan reproduksi pada hewan betina.
Penyebab lain adalah karena kelanjutan dari abnormalitas partus seperti
abortus, retensio sekundinarium, kelahiran prematur, kelahiran kembar, distokia
serta perlukaan pada saat membantu kelahiran (Sudarwanto, 1998). Endometritis
sebagai gangguan pada saluran reproduksi betina, dapat memperpanjang calving
interval dan penurunan kesuburan hingga kemajiran. Endometritis merupakan
peradangan pada selaput lender uterus (endometrium) yang diakibatkan oleh
infeksi kuman yang masuk ke dalam uterus melalui vagina, biasanya pada keadaan
partus yang abnormal, atau secara hematogen (aliran darah) (Sudarwanto, 1998).
Endometritis disebabkan oleh kuman spesifik pathogen pada uterus seperti
Campylobacteriosis (Vibriosis) , Trichomoniasis dan Brucella abortus yang dapat
menginfesi tanpa faktor prediposisi yang lain. Untuk mengdiagnosa endometritis
melalui palpasi rectal.
Penanganan
ternak yang terdiagnosa penyakit endometritis adalah dengan melakukan “Spul”
atau pembersihan daerah uterus yang terkena radang dengan menggunakan
antiseptik. Sehingga, bakteri patogen didalam uterus mati. Dengan begitu maka
uterus dapat kembali sehat.
3. Masalah
Reproduksi
Permasalahan yang
timbul dalam reproduksi sapi perah di BBPTU-HPT Baturraden banyak ditemui
beberapa kasus kelainan atau disfungsi. Yang biasa terjadi adalah kasus
distokia atau sulit melahirkan. Distokia adalah suatu gangguan dari suatu
proses kelahiran atau partus, yang mana dalam stadium pertama dan stadium kedua
dari partus itu keluarnya fetus menjadi lebih lama dan sulit, sehingga menjadi
tidak mungkin kembali bagi induk untuk mengeluarkan fetus kecuali dengan
pertolongan manusia. Pada umumnya kejadian distokia lebih sering terjadi pada
sapi perah dibanding sapi potong (Putro, 2012).
Menurut Jackson (2007) kasus distokia disebabkan oleh penimbunan lemak
di pelvis, bobot lahir terlalu besar, hipokalsemia, umur induk, presentasi
kelahiran dan lama kebuntingan. Distokia dapat dicegah dengan memperhatikan
penyebab yang dapat menimbulkannya, yaitu dengan pakan seimbang dan tidak
berlebih, memperbaiki presentasi kelahiran dengan palpasi rectal, kemudian
diberikan tindakan suportif prepartus.
Suportif prepartus dengan menambahkan
vitamin ADEK dan Ca pada umur 8 bulan kebuntingan. Selain untuk mencegah
distokia, suportif prepartus juga
untuk menjaga stamina induk saat melahirkan nantinya.
Retensi Plasenta juga sering ditemui di farm. Retensio sekundinae yaitu tertahannya
plasenta atau selaput fetus setelah partus melebihi batas normalnya. Secara
fisiologik selaput fetus dikeluarkan dalam waktu 3-5 jam postpartus. Apabila
plasenta menetap lebih lama dari 8-12 jam kondisi ini dianggap patologik,
sehingga disebut retensio sekundinae (retensi plasenta) (Manan, 2002). Patologi
kejadian retensio sekundinae adalah kegagalan pelepasan vili kotiledon fetal
dari kripta karunkula maternal. Setelah fetus keluar dan korda umbilikalis
putus, tidak ada darah yang mengalir ke vili fetal sehingga vili tersebut
berkerut dan mengendur terhadap kripta karankula. Uterus terus berkontraksi dan
sejumlah darah yang tadinya mengalir ke uterus sangat berkurang. Karunkula
meternal mengecil karena suplai darah berkurang sehingga kripta pada karunkula berdilatasi.
Akibat dari semua itu vili kotiledon lepas dari kripta karankula sehingga
plasenta terlepas. Pada retensio sekundinae, pemisahan dan pelepasan vili fetal
dari kripta maternal terganggu, sehingga pertautan diantara keduanya masih
terjadi. Retensio
sekundinae dan atau endometritis dapat menurunkan kesuburan (infertilitas) pada
penderita sampai pada kemajiran, sehingga mengganggu proses reproduksi. Cara
mengatasi ternak yang terkena retensi plasenta adalah dengan membantu ternak
mengeluarkan plasenta dengan palpasi langsung dan dilakukan “spul” untuk
menghindari radang atau luka di saluran reproduksi.
4. Diare
Kasus
diare biasa ditemukan pada pedet yang masih menyusu. Ketika pedet pindah dari
colostrum ke susu maka pedet biasanya terserang diare. Selain itu juga diare
disebabkan oleh bakteri di saluran pencernaan. Diare yang disebabkan oleh
bakteri dapat diatasi dengan penggunaan antibiotic. Apabila tiga hari diare
tersebut tidak kunjung hilang maka diberikan
5. Pneumonia
Pneumonia
biasa ditemukan kasusnya pada pedet yang masih menyusu. Ketika suhu dan
kelembaban lingkungan kandang berubah maka pedet biasanya akan terserang
pneumonia. Untuk mengatasi hal tersebut maka lantai kandang diberi alas agar
suhu kandang optimal dan kelembabannya terjaga. Apabila alas kandang terlalu
basah maka dapat diganti secara berkala.
6. Bloat
Bloat
atau kembung merupakan gangguan metabolic pada saluran pencernaan khususnya di
rumen. Hal ini disebabkan oleh produksi gas berlebih di rumen dan ternak sulit
untuk mengeluarkannya. Banyak cara untuk mengatasi bloat yaitu dengan melubangi
bagian rumen agar gas dapat keluar. Selain itu juga dengan suplementasi minyak
nabati yang mengandung asam lemak tak jenuh dapat mengurangi bloat.
7. Mastitis
Mastitis
merupakan infeksi atau peradangan pada jaringan interna ambing yang dapat
ditandai dengan perubahan kualitas maupun perubahan produksi susu (Ensminger,
1991). Mastitis merupakan reaksi peradangan pada jaringan ambing terhadap
infeksi bakteri, kimia, panas, ataupun karena perlukaan (Schmidt et al.
1988). Respon peradangan ditandai dengan peningkatan protein darah dan sel
darah putih pada jaringan ambing dan susu. Tujuan dari peradangan adalah untuk
netralisasi terhadap penyebab iritasi, perbaikan jaringan yang rusak, dan
pengembalian fungsi normal ambing (Foley et al. 1972). Susu pada sapi
yang menderita mastitis akan mengalami perubahan secara fisik dan kimia.
Perubahan secara fisik antara lain terjadinya perubahan warna, bau, rasa, dan
konsistensi. Perubahan secara kimiawi meliputi penurunan jumlah kasein dan
laktosa (Subronto, 2003). Kejadian mastitis dapat disebabkan karena kausa
infeksius dan non-infeksius. Kausa infeksius disebabkan oleh mikroorganisme
patogen masuk melalui saluran puting susu ke dalam kelenjar ambing. Kausa
non-infeksius berkaitan dengan kondisi hewan/ternak dan kondisi lingkungan.
Kerugian ekonomi yang diakibatkan mastitis antara lain; terjadinya penurunan
produksi susu per kuartir per hari antara 9-45.5%, penurunan kualitas susu yang
mengakibatkan penolakan susu mencapai 30-40% dan penurunan kualitas hasil
olahan susu, peningkatan biaya perawatan dan pengobatan serta pengafkiran
ternak lebih awal (Sudarwanto dan Sudarnika, 2008). Penanganan kasus mastitis
adalah dengan penyuntikkan antibiotic langsung intramamae. Setelah beberapa
hari pasca penyuntikkan susu harus dianalisis kandungan residu antibiotiknya
menggunakan alat khusus. Apabila di dalam susu sudah negatif kandungan
antibiotikanya dilanjutkan dengan uji kandungan nutrient susu menggunakan alat
lactoscan. Apabila susu sudah layak konsumsi maka susu dari ternak tersebut
dapat dipasarkan kembali.
8. Brucellosis
Brucellosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri genus Brucella. Brucella adalah bakteri yang
berbentuk batang halus berukuran panjang 0,5-2,0 µ dan lebar 0,4-0,8 µ. Bakteri
ini tidak bergerak, tidak berspora, bersifat
aerob dan parasit intraseluler yang dapat hidup dalam sel makrofag serta
sel epitel induk semang. Kemampuan ini
yang menyebabkan pengobatan memakai antibiotic kurang efisien dan efektif (Blood
dan Radostitis 1989) serta pemeriksaan bakteriologis yang sulit karena kuman
jarang beredar di darah.
Penyebaran penyakit Bucellosis pada sapi telah dilaporkan terjadi hampir
di seluruh wilayah Indonesia yang setidaknya telah dilaporkan menyebar ke-26 propinsi
(Sudibyo dan Ronohardjo, 1989). Termasuk juga BPPTU-HPT Baturraden tempo lalu. Penularan
langsung terjadi bila sapi menjilat/terjilat sisa kelahiran tersebut. Bakteri
yang dikeluarkan bersamaan dengan kelahiran tersebut mampu menularkan lagi
hingga 600 ekor sapi lain. Umumnya tingkat penularan tertinggi terjadi selama
satu bulan sejak induk penderita mengalami keguguran atau melahirkan.
Selanjutnya bakteri akan bersembunyi di dalam persendian, kelenjar limfe
(khususnya supramaria) dan kelenjar susu (Subronto 2003). Setelah itu infeksi
akan mengalami penurunan pada hari ke 48 hingga ke 90. Pada saat ini kuman Brucella
tidak dapat diisolasi dari darah atau uterus tidak bunting. Selama proses
penyakit berlangsung, hewan secara klinis nampak sepenuhnya sehat dan lesi yang
timbul bersifat ringan. Pernyataan tersebut menyebabkan akses maupun kunjungan
ke BPPTU-HPT Baturraden di tutup.
Brucellosis pada sapi jantan dapat terjadi tanpa memperlihatkan
gejala klinis walau pembesaran tetes
akibat epididimistis dan orchitis terjadi (Ressang 1984). Diagnosa penyakit
umumnya dilakukan berdasarkan isolasi kuman Brucella
yang dikonfirmasikan dengan pengujian bakteriologi seperti uji biokimia dan uji
serologis . Uji serologis merupakan teknik diagnosa yang umum digunakan untuk
brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum
Agglutination Test (SAT), dan Complement
Fixation Test (CFT). Sementara itu teknik diagnosa Enzymelinked lmmunosorbent Assay (ELISA) adalah teknik diagnosa
yang paling sensitif untuk uji brucellosis .
2.3.
Pencegahan Penyakit
Pencegahan penyakit di
BBPTU-HPT Baturraden adalah dengan melaksanakan kegiatan biosecurity. Biosecurity
di BPPTU-HPT Baturraden dilakukan dengan penyemprotan desinfectan di beberapa
tempat. Contohnya ada penyemprotan desinfektan di pintu masuk balai ini,
penyemprotan di setiap kandang dan penyemprotan di tempat pemerahan susu.
Desinfektan yang digunakan yaitu jenis Benzal Conium Clorida (BKC). Desinfektan
ini berfungsi untuk mengurangi jumlah mikroba pembawa penyakit yang berasal
dari luar atau dari lingkungan sehingga tidak menyerang ke ternak.
III.
KESIMPULAN
DAN SARAN
3.1
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari isi makalah
diatas adalah sebagai berikut:
1. Kontrol
kesehatan di BBPTU-HPT Baturraden dilakukan dengan rutin menguji sampel darah,
feses, dan cairan vagina, setiap pagi dan sore. Kemudian uji mastitis rutin
setiap 2 kali dalam satu tahun.
2. Penyakit
yang sering ditemukan adalah cacingan, endometritis, masalah reproduksi,
mastitis, diare, bloat, dan pneumonia.
3. Penanganan
penyakit cacingan adalah dengan pemberian Albendasol secara oral. Penanganan endometritis
adalah dengan “spul” uterus menggunakan antiseptic. Penanganan masalah
reproduksi adalah dengan bantuan langsung manusia dan suportif prepartus.
Penanganan masalah mastitis adalah dengan penyuntikkan antibiotic intramammae.
Penanganan diare oleh bakteri adalah antibiotic, bila berlanjut diberi b-carbon
secara oral. Penanganan pneumonia adalah dengan penggunaan alas kandang dan
pergantian alas kandang berkala. Penanganan bloat adalah dengan melubangi
bagian perut dekat rumen atau dengan suplementasi minyak nabati.
4. Pencegahan
penyakit di BBPTU-HPT Baturraden adalah dengan melakukan biosecurity baik di
gerbang masuk dan juga di dalam kandang pedet khususnya.
3.2.
Saran
BBPTU-HPT Baturraden
telah melaksanakan manajemen kesehatan yang baik maka hanya tinggal
dipertahankan saja. Saran untuk praktikum farm visit manajemen ternak perah
lebih kepada efisiensi waktu dan kejelasan susunan acara sehingga tidak ada
kebingungan dari praktikan sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Blood DC, OM
Radostitis. 1989. Veterinari Medicine.
Bailliere
Tindall, London. England.
Ensminger ME.
1991. Animal Science. Illinois: Interstate.
Foley
CR, Bath LD, Dickinson NF, Tucker AH. 1972. Dairy Cattle: Principles,
Practices, Problems, Profits. Philadelphia: Lea & Febiger.
Jackson (2007) Jackson, P, G. 2007. Handbook Obstetrik Veteriner. Edisi ke-2.
Diterjemahkan
oleh ArisJunaidi. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Manan, 2002.
Ilmu Kebidanan pada Ternak. Fakultas kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala
banda Aceh.
Putro, 2012 Putro, P.P.,
Prihatno, S.A., Setiawan, E.M.N. 2012. Petunjuk
Praktikum Ruminansia I Blok 115.
Bagian Reproduksi dan Kebidanan. FKH UGM.
Ressang AA. 1984. Patologi Khusus
Veteriner. Institut Pertanian Bogor, Bogo
Schmidt
GH, Van Vleck LD, Hutjens MF. 1988. Principles of Dairy Science. Ed
ke-2. New Jersey: Prentice Hall.
Spigel
YN. 2001. Clinical and Teraupeutic Aspect of Retained Fetal Placenta in Dairy
Cows Under Intensive management. TJ. The Faculty of Veterinary Medicine for
Public Criticism 20(2001):121-156.
Subronto.
2003. Ilmu Penyakit Ternak I. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Press.
Sudarwanto
1998 Sudarwanto M. 1998. Pereaksi IPB-1 sebagai Pereaksi alternatif untuk
mendeteksi mastitis subklinis. Med Vet 5 (1): 1-5.
Sudarwanto
M, Sudarnika E. 2008. Nilai diagnostik tes IPB mastitis dibandingkan dengan
jumlah sel somatik dalam susu. Prosiding Konferensi Ilmiah Veteriner
Nasional; Bogor, 19-22 Agu 2008. Bogor: KIVNAS. hlm 363-365.
Sudibyo, A. dan
P. Ronohardjo . 1989 . Brucellosis pada sapi perah . Prosiding
Pertemuan Ilmiah
Ruminansia
. Ruminansia besar, Jilid 1 :25-31 .