Do the Best in your life, don't give up and keep smiling :D

Selasa, 24 Desember 2013

Makalah manajemen kesehatan ternak perah

MAKALAH MANAJEMEN TERNAK PERAH
MANAJEMEN KESEHATAN di BALAI BESAR PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK (BBPTU-HPT) BATURRADEN




Oleh :
Kelompok 12 C







UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PETERNAKAN
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
LABORATORIUM PRODUKSI TERNAK PERAH
PURWOKERTO
2013

I.       PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang
Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Hijauan Pakan Ternak (BPPTU-HPT) merupakan sebuah instansi milik pemerintah yang bergerak dalam bidang pemuliaan, produksi, pemeliharaan, dan pemasaran. Tempat praktikum yang didatangi merupakan salah satu dari empat tempat BBPTU Sapi perah Baturraden. Daerah yang kami gunakan sebagai tempat magang adalah farm Tegalsari yang memiliki luas 34 ha. Tiga daerah lain yaitu terdapat di Munggangsari (10 ha), Limpakuwus (96,7 ha), dan Manggala (100 ha). Cabang BBPTU yang terdapat di Manggala digunakan sebagai rearing(pembesaran) bibit yang telah dihasilkan di ketiga daerah pembibitan. Farm Tegalsari memiliki lahan hijauan 17 ha dari total luas balai. Terdapat 13 tipe kandang berdasarkan status ternak di BBPTU ini. Kandang A, B, C dikhususkan untuk sapi dewasa dan sapi laktasi. Kandang D dan F digunakan untuk sapi bunting dan beranak. Kandang E, E1, E2 digunakan untuk pedet individu dan koloni. Kandang G untuk dara bunting, kandang H untuk pejantan progeny, kandang I dan J untuk sapi dara, Kandang vistole untuk sapi laktasi dan kandang K untuk sapi kering. Jumlah sapi induk di BBPTU adalah 231 ekor, dara (umur >6 bulan) sebanyak 94 ekor, pedet (umur 1-6 bulan) sebanyak 169 ekor, sapi laktasi 116 ekor dan jantan muda 1 ekor. BPPTU-HPT memiliki laboratorium yang digunakan untuk uji residu antibiotik, dan uji kualitas susu.  
Manajemen ternak sapi perah merupakan hal yang sangat penting. Manajemen sebagai pedoman agar tidak terjadi kerugian baik secara materi maupun kerugian secara genetik dan agar terciptanya bibit unggul sapi perah yang akan menghasilkan produksi susu yang berkualitas baik pula. BPPTU-HPT ini sangat memperhatikan segala aspek manajemen. Sehingga BPPTU-HPT di Baturraden ini dipercaya menjadi satu-satunya balai pembibitan sapi perah di Indonesia.
Tujuan dilakukannya praktikum manajemen ternak perah di BPPTU-HPT Baturraden adalah untuk mengetahui tata laksana pemeliharaan sapi perah terutama dari segi manajemen kesehatannya. Manajemen kesehatan merupakan salah satu faktor pendukung dalam pemeliharaan sapi perah di BPPTU-HPT Baturraden. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas lebih jelas mengenai manajemen kesehatan di BPPTU-HPT sapi perah Baturraden.
1.2.      Perumusan Masalah
1.            Bagaimana control kesehatan di BBPTU-HPT Baturraden?
2.            Apa saja penyakit yang terdapat di BBPTU-HPT Baturraden?
3.            Bagaimana penanganan dan pengobatan penyakit yang terdapat di BBPTU-HPT?
4.            Bagaimana upaya menjaga kesehatan ternak di BBPTU-HPT Baturraden?

II.    ISI
2.1.    Kontrol Kesehatan
Manajemen kesehatan di BBPTU-HPT Baturraden dilakukan control kesehatan melalui 3 cara pengujian sampel yaitu pengujian sampel darah, pengujian sampel feses dan pengujian cairan vagina. Pengujian sampel darah dilakukan dengan pemngambilan sampel darah setiap tahun. Sampel darah yang diambil akan di ujikan di Laboratorium Hematologi. Sampel yang dimasukkan ke dalam alat tersebut membuktikan apakah sapi tersebut mengalami gangguan kesehatan atau tidak. Alat tersebut disebut hematology analyzer. Prinsip alat tersebut dapat mendeteksi kelainan komposisi darah. Kelainan komposisi darah menjadi indikasi apakah sapi tersebut terserang penyakit atau tidak. Contohnya dari alat tersebut terlihat leukosit nya diatas normal berarti sapi tersebut terkena infeksi atau stress.
Kontrol kesehatan lainnya adalah dengan menguji sampel feses dari ternak secara rutin dan diperiksa apakah terdapat cacing atau tidak. Apabila terdapat cacing maka langsung ternak tersbut diberi obat cacing. Kontrol penyakit cacing dilaksanakan setiap dua kali dalam satu tahun tujuannya agar ternak dapat dengan pasti diidentifikasi apakah terserang penyakit cacing atau tidak. Ensminger (1991) menyatakan bahwa penyakit cacingan pada ternak banyak dialami oleh ternak yang dilepas di padang penggembalaan. Di BBPTU-HPT Baturraden, ternak biasanya di lepas di padang penggembalaan untuk exercise di pagi hari. Sehingga ternak di sana cukup sering terkena penyakit cacingan. Dengan control dua kali dalam setahun maka ternak dapat diminimalisir terserang penyakit cacing yang kronis.
Pengujian sampel berikutnya adalah pengujian sampel cairan vagina. Untuk mendiagnosa penyakit di bagian reproduksi maka tim dokter hewan di BBPTU-HPT Baturraden melaksanakan uji sampel cairan vagina. Apabila cairan vagina tersebut terdapat mikroba patogen maka ternak bisa jadi mengidap infeksi saluran reproduksi seperti endrometitis dan penyakit saluran reproduksi lainnya.
Kontrol kesehatan lainnya yang sangat penting adalah uji mastitis. Uji mastitis di BBPTU-HPT Baturraden dilakukan setiap satu minggu sekali. Uji mastitis menggunakan metode CMT (Californian Mastitis Test). metode yang sering dipakai untuk uji mastitis antara lain Aulendorfer Mastitis Probe (AMP), California Mastitis Test (CMT), Milk Quality Test (MQT), Michigan Mastitis Test (MMT), Whiteside Test (WST) (Foley et al. 1972). Tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan menggunakan teknik deteksi mastitis lebih dini, terutama untuk mastitis subklinis (Sudarwanto, 1998).
2.2.       Penyakit yang Biasa Ditemukan dan Penanganannya
Penyakit-penyakit yang biasa ditemukan di BBPTU-HPT Baturraden ada beberapa macam penyakit, yaitu:
1.      Penyakit cacingan
Penyakit cacingan di BBPTU-HPT Baturraden banyak disebabkan oleh penggembalaan di pagi hari, dimana hijauan terkontaminasi oleh telur cacing. Hasil control kesehatan terdapat sapi yang mengalami cacingan dengan gejala seperti: telur cacing ditemukan di feses, bulu berdiri, dan tubuh kurus. Cacingan apabila dibiarkan maka dapat mempengaruhi produksi susu. Menurut Ibu Fitri pengelola kesehatan ternak di BBPTU-HPT Baturraden cacing lambung dapat menyebabkan abortus pada saat <45hari usia kebuntingan. Penyakit cacingan menurut Spigel (2001) dapat menurunkan produksi susu sebanyak 15% sehingga perlu ada penanganan serius dari penyakit ini. Cara mengatasi ternak yang cacingan adalah dengan diberikan obat Albendasol secara oral.

2.      Endometritis
Endometritis merupakan peradangan di bagian endometrium. Endometritis adalah peradangan pada lapisan endometrium uterus, biasanya terjadi sebagai suatu hasil dari infeksi bakteri patogen terutama terjadi melalui vagina dan menerobos serviks  sehingga mengkontaminasi uterus selama partus, membuat involusi uterus menjadi tertunda dan performa reproduksi memburuk. Sehingga menyebabkan kerugian secara ekonomis.
Radang pada endometrium uterus ini juga dapat disebabkan infeksi sekunder yang berasal dari bagian lain tubuh sehingga dapat menyebabkan gangguan reproduksi pada hewan betina. Penyebab lain adalah karena kelanjutan dari abnormalitas partus seperti abortus, retensio sekundinarium, kelahiran prematur, kelahiran kembar, distokia serta perlukaan pada saat membantu kelahiran (Sudarwanto, 1998). Endometritis sebagai gangguan pada saluran reproduksi betina, dapat memperpanjang calving interval dan penurunan kesuburan hingga kemajiran. Endometritis merupakan peradangan pada selaput lender uterus (endometrium) yang diakibatkan oleh infeksi kuman yang masuk ke dalam uterus melalui vagina, biasanya pada keadaan partus yang abnormal, atau secara hematogen (aliran darah) (Sudarwanto, 1998). Endometritis disebabkan oleh kuman spesifik pathogen pada uterus seperti Campylobacteriosis (Vibriosis) , Trichomoniasis dan Brucella abortus yang dapat menginfesi tanpa faktor prediposisi yang lain. Untuk mengdiagnosa endometritis melalui palpasi rectal.
Penanganan ternak yang terdiagnosa penyakit endometritis adalah dengan melakukan “Spul” atau pembersihan daerah uterus yang terkena radang dengan menggunakan antiseptik. Sehingga, bakteri patogen didalam uterus mati. Dengan begitu maka uterus dapat kembali sehat.
3.      Masalah Reproduksi
Permasalahan yang timbul dalam reproduksi sapi perah di BBPTU-HPT Baturraden banyak ditemui beberapa kasus kelainan atau disfungsi. Yang biasa terjadi adalah kasus distokia atau sulit melahirkan. Distokia adalah suatu gangguan dari suatu proses kelahiran atau partus, yang mana dalam stadium pertama dan stadium kedua dari partus itu keluarnya fetus menjadi lebih lama dan sulit, sehingga menjadi tidak mungkin kembali bagi induk untuk mengeluarkan fetus kecuali dengan pertolongan manusia. Pada umumnya kejadian distokia lebih sering terjadi pada sapi perah dibanding sapi potong (Putro, 2012).  Menurut Jackson (2007) kasus distokia disebabkan oleh penimbunan lemak di pelvis, bobot lahir terlalu besar, hipokalsemia, umur induk, presentasi kelahiran dan lama kebuntingan. Distokia dapat dicegah dengan memperhatikan penyebab yang dapat menimbulkannya, yaitu dengan pakan seimbang dan tidak berlebih, memperbaiki presentasi kelahiran dengan palpasi rectal, kemudian diberikan tindakan suportif prepartus. Suportif prepartus dengan menambahkan vitamin ADEK dan Ca pada umur 8 bulan kebuntingan. Selain untuk mencegah distokia, suportif prepartus juga untuk menjaga stamina induk saat melahirkan nantinya.
Retensi Plasenta juga sering ditemui di farm. Retensio sekundinae yaitu tertahannya plasenta atau selaput fetus setelah partus melebihi batas normalnya. Secara fisiologik selaput fetus dikeluarkan dalam waktu 3-5 jam postpartus. Apabila plasenta menetap lebih lama dari 8-12 jam kondisi ini dianggap patologik, sehingga disebut retensio sekundinae (retensi plasenta) (Manan, 2002). Patologi kejadian retensio sekundinae adalah kegagalan pelepasan vili kotiledon fetal dari kripta karunkula maternal. Setelah fetus keluar dan korda umbilikalis putus, tidak ada darah yang mengalir ke vili fetal sehingga vili tersebut berkerut dan mengendur terhadap kripta karankula. Uterus terus berkontraksi dan sejumlah darah yang tadinya mengalir ke uterus sangat berkurang. Karunkula meternal mengecil karena suplai darah berkurang sehingga kripta pada karunkula berdilatasi. Akibat dari semua itu vili kotiledon lepas dari kripta karankula sehingga plasenta terlepas. Pada retensio sekundinae, pemisahan dan pelepasan vili fetal dari kripta maternal terganggu, sehingga pertautan diantara keduanya masih terjadi. Retensio sekundinae dan atau endometritis dapat menurunkan kesuburan (infertilitas) pada penderita sampai pada kemajiran, sehingga mengganggu proses reproduksi. Cara mengatasi ternak yang terkena retensi plasenta adalah dengan membantu ternak mengeluarkan plasenta dengan palpasi langsung dan dilakukan “spul” untuk menghindari radang atau luka di saluran reproduksi.
4.      Diare
Kasus diare biasa ditemukan pada pedet yang masih menyusu. Ketika pedet pindah dari colostrum ke susu maka pedet biasanya terserang diare. Selain itu juga diare disebabkan oleh bakteri di saluran pencernaan. Diare yang disebabkan oleh bakteri dapat diatasi dengan penggunaan antibiotic. Apabila tiga hari diare tersebut tidak kunjung hilang maka diberikan


5.      Pneumonia
Pneumonia biasa ditemukan kasusnya pada pedet yang masih menyusu. Ketika suhu dan kelembaban lingkungan kandang berubah maka pedet biasanya akan terserang pneumonia. Untuk mengatasi hal tersebut maka lantai kandang diberi alas agar suhu kandang optimal dan kelembabannya terjaga. Apabila alas kandang terlalu basah maka dapat diganti secara berkala.

6.      Bloat
Bloat atau kembung merupakan gangguan metabolic pada saluran pencernaan khususnya di rumen. Hal ini disebabkan oleh produksi gas berlebih di rumen dan ternak sulit untuk mengeluarkannya. Banyak cara untuk mengatasi bloat yaitu dengan melubangi bagian rumen agar gas dapat keluar. Selain itu juga dengan suplementasi minyak nabati yang mengandung asam lemak tak jenuh dapat mengurangi bloat.

7.      Mastitis
Mastitis merupakan infeksi atau peradangan pada jaringan interna ambing yang dapat ditandai dengan perubahan kualitas maupun perubahan produksi susu (Ensminger, 1991). Mastitis merupakan reaksi peradangan pada jaringan ambing terhadap infeksi bakteri, kimia, panas, ataupun karena perlukaan (Schmidt et al. 1988). Respon peradangan ditandai dengan peningkatan protein darah dan sel darah putih pada jaringan ambing dan susu. Tujuan dari peradangan adalah untuk netralisasi terhadap penyebab iritasi, perbaikan jaringan yang rusak, dan pengembalian fungsi normal ambing (Foley et al. 1972). Susu pada sapi yang menderita mastitis akan mengalami perubahan secara fisik dan kimia. Perubahan secara fisik antara lain terjadinya perubahan warna, bau, rasa, dan konsistensi. Perubahan secara kimiawi meliputi penurunan jumlah kasein dan laktosa (Subronto, 2003). Kejadian mastitis dapat disebabkan karena kausa infeksius dan non-infeksius. Kausa infeksius disebabkan oleh mikroorganisme patogen masuk melalui saluran puting susu ke dalam kelenjar ambing. Kausa non-infeksius berkaitan dengan kondisi hewan/ternak dan kondisi lingkungan. Kerugian ekonomi yang diakibatkan mastitis antara lain; terjadinya penurunan produksi susu per kuartir per hari antara 9-45.5%, penurunan kualitas susu yang mengakibatkan penolakan susu mencapai 30-40% dan penurunan kualitas hasil olahan susu, peningkatan biaya perawatan dan pengobatan serta pengafkiran ternak lebih awal (Sudarwanto dan Sudarnika, 2008). Penanganan kasus mastitis adalah dengan penyuntikkan antibiotic langsung intramamae. Setelah beberapa hari pasca penyuntikkan susu harus dianalisis kandungan residu antibiotiknya menggunakan alat khusus. Apabila di dalam susu sudah negatif kandungan antibiotikanya dilanjutkan dengan uji kandungan nutrient susu menggunakan alat lactoscan. Apabila susu sudah layak konsumsi maka susu dari ternak tersebut dapat dipasarkan kembali.
8.    Brucellosis
Brucellosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri genus Brucella. Brucella adalah bakteri yang berbentuk batang halus berukuran panjang 0,5-2,0 µ dan lebar 0,4-0,8 µ. Bakteri ini tidak bergerak, tidak berspora, bersifat  aerob dan parasit intraseluler yang dapat hidup dalam sel makrofag serta sel epitel  induk semang. Kemampuan ini yang menyebabkan pengobatan memakai antibiotic kurang efisien dan efektif (Blood dan Radostitis 1989) serta pemeriksaan bakteriologis yang sulit karena kuman jarang beredar di darah.
Penyebaran penyakit Bucellosis pada sapi telah dilaporkan terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia yang setidaknya telah dilaporkan menyebar ke-26 propinsi (Sudibyo dan Ronohardjo, 1989). Termasuk juga BPPTU-HPT Baturraden tempo lalu. Penularan langsung terjadi bila sapi menjilat/terjilat sisa kelahiran tersebut. Bakteri yang dikeluarkan bersamaan dengan kelahiran tersebut mampu menularkan lagi hingga 600 ekor sapi lain. Umumnya tingkat penularan tertinggi terjadi selama satu bulan sejak induk penderita mengalami keguguran atau melahirkan. Selanjutnya bakteri akan bersembunyi di dalam persendian, kelenjar limfe (khususnya supramaria) dan kelenjar susu (Subronto 2003). Setelah itu infeksi akan mengalami penurunan pada hari ke 48 hingga ke 90. Pada saat ini kuman Brucella tidak dapat diisolasi dari darah atau uterus tidak bunting. Selama proses penyakit berlangsung, hewan secara klinis nampak sepenuhnya sehat dan lesi yang timbul bersifat ringan. Pernyataan tersebut menyebabkan akses maupun kunjungan ke BPPTU-HPT Baturraden di tutup.
Brucellosis pada sapi jantan dapat terjadi tanpa memperlihatkan gejala  klinis walau pembesaran tetes akibat epididimistis dan orchitis terjadi (Ressang 1984). Diagnosa penyakit umumnya dilakukan berdasarkan isolasi kuman Brucella yang dikonfirmasikan dengan pengujian bakteriologi seperti uji biokimia dan uji serologis . Uji serologis merupakan teknik diagnosa yang umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Complement Fixation Test (CFT). Sementara itu teknik diagnosa Enzymelinked lmmunosorbent Assay (ELISA) adalah teknik diagnosa yang paling sensitif untuk uji brucellosis .

2.3.       Pencegahan Penyakit
Pencegahan penyakit di BBPTU-HPT Baturraden adalah dengan melaksanakan kegiatan biosecurity. Biosecurity di BPPTU-HPT Baturraden dilakukan dengan penyemprotan desinfectan di beberapa tempat. Contohnya ada penyemprotan desinfektan di pintu masuk balai ini, penyemprotan di setiap kandang dan penyemprotan di tempat pemerahan susu. Desinfektan yang digunakan yaitu jenis Benzal Conium Clorida (BKC). Desinfektan ini berfungsi untuk mengurangi jumlah mikroba pembawa penyakit yang berasal dari luar atau dari lingkungan sehingga tidak menyerang ke ternak.
  
III.             KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari isi makalah diatas adalah sebagai berikut:
1.      Kontrol kesehatan di BBPTU-HPT Baturraden dilakukan dengan rutin menguji sampel darah, feses, dan cairan vagina, setiap pagi dan sore. Kemudian uji mastitis rutin setiap 2 kali dalam satu tahun.
2.      Penyakit yang sering ditemukan adalah cacingan, endometritis, masalah reproduksi, mastitis, diare, bloat, dan pneumonia.
3.      Penanganan penyakit cacingan adalah dengan pemberian Albendasol secara oral. Penanganan endometritis adalah dengan “spul” uterus menggunakan antiseptic. Penanganan masalah reproduksi adalah dengan bantuan langsung manusia dan suportif prepartus. Penanganan masalah mastitis adalah dengan penyuntikkan antibiotic intramammae. Penanganan diare oleh bakteri adalah antibiotic, bila berlanjut diberi b-carbon secara oral. Penanganan pneumonia adalah dengan penggunaan alas kandang dan pergantian alas kandang berkala. Penanganan bloat adalah dengan melubangi bagian perut dekat rumen atau dengan suplementasi minyak nabati.
4.      Pencegahan penyakit di BBPTU-HPT Baturraden adalah dengan melakukan biosecurity baik di gerbang masuk dan juga di dalam kandang pedet khususnya.
3.2. Saran
BBPTU-HPT Baturraden telah melaksanakan manajemen kesehatan yang baik maka hanya tinggal dipertahankan saja. Saran untuk praktikum farm visit manajemen ternak perah lebih kepada efisiensi waktu dan kejelasan susunan acara sehingga tidak ada kebingungan dari praktikan sendiri.


DAFTAR PUSTAKA
Blood DC, OM Radostitis. 1989. Veterinari Medicine. Bailliere
Tindall, London. England.
Ensminger ME. 1991. Animal Science. Illinois: Interstate.
Foley CR, Bath LD, Dickinson NF, Tucker AH. 1972. Dairy Cattle: Principles, Practices, Problems, Profits. Philadelphia: Lea & Febiger.
Jackson (2007) Jackson, P, G. 2007. Handbook Obstetrik Veteriner. Edisi ke-2. Diterjemahkan oleh ArisJunaidi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Manan, 2002. Ilmu Kebidanan pada Ternak. Fakultas kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala banda Aceh.
Putro, 2012 Putro, P.P., Prihatno, S.A., Setiawan, E.M.N. 2012.  Petunjuk Praktikum Ruminansia I Blok 115. Bagian Reproduksi dan Kebidanan. FKH UGM.
Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Institut Pertanian Bogor, Bogo
Schmidt GH, Van Vleck LD, Hutjens MF. 1988. Principles of Dairy Science. Ed ke-2. New Jersey: Prentice Hall.
Spigel YN. 2001. Clinical and Teraupeutic Aspect of Retained Fetal Placenta in Dairy Cows Under Intensive management. TJ. The Faculty of Veterinary Medicine for Public Criticism 20(2001):121-156.
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak I. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Press.
Sudarwanto 1998 Sudarwanto M. 1998. Pereaksi IPB-1 sebagai Pereaksi alternatif untuk mendeteksi mastitis subklinis. Med Vet 5 (1): 1-5.
Sudarwanto M, Sudarnika E. 2008. Nilai diagnostik tes IPB mastitis dibandingkan dengan jumlah sel somatik dalam susu. Prosiding Konferensi Ilmiah Veteriner Nasional; Bogor, 19-22 Agu 2008. Bogor: KIVNAS. hlm 363-365.
Sudibyo, A. dan P. Ronohardjo . 1989 . Brucellosis pada sapi perah . Prosiding

Pertemuan Ilmiah Ruminansia . Ruminansia besar, Jilid 1 :25-31 .

Kejurnas Futsal Fapet Unsoed 2013

KEJURNAS FUTSAL 2013 FAKULTAS PETERNAKAN UNSOED
Kejuaraan Nasional Futsal antar Fakultas Peternakan se-Indonesia kembali diadakan. Kejuaraan ini telah berlangsung di Gedung Olahraga Satria, Purwokerto mulai tanggal 21-22 Desember 2013. Kejurnas dibuka oleh Ir. A.T. Ari Sudewo, MS selaku PD II Fakultas Peternakan Unsoed. Kegiatan Futsal ini sangat diharapkan akan menghasilkan mahasiswa yang memiliki teknik bermain futsal yang baik dan sebagai pertandingan persahabatan antar Fakultas Peternakan Perguruan Tinggi Se-Indonesia.


Kejuaraan Nasional Futsal Putra antar Fakultas Peternakan diikuti sebanyak 9 tim dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia diantaranya  Universitas Padjajaran (UNPAD), Universitas Juanda, Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Dipenogoro (UNDIP), Universitas Brawijaya (UB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Akademi Peternakan Karanganyar (APEKA) dan Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) sebagai tuan rumah. Kejuaraan futsal ini menggunakan system pertandingan setengah kompetisi dan dibagi dalam 2 grup yaitu grup A dan grup B. Maka kejuaraan ini yang akan memperebutkan juara I,II, III, dan top score dengan masing-masing mendapat piala dan uang pembinaan sebesar Rp.2.500.000, Rp.1.500.000, Rp.1.000.000 dan Rp.250.000 untuk top score.
Kejurnas tanggal 21 Desember 2013 pukul 08.00 dimulai pertandingan babak penyisihan grup yaitu Unsoed melawan Universitas Brawijaya. Babak penyisihan berikutnya Tim Fapet Unsoed tidak pantang menyerah. Tim Fapet Unsoed berhasil menyisihkan 3 tim dan masuk ke babak semifinal. Tidak sampai di babak semifinal, Tim Fapet Unsoed juga bertanding di babak Final melawan Unpad dengan score 1-5. Hasil Pertandingan Kejurnas Futsal direbut oleh Unpad sebagai Juara I, Unsoed sebagai juara II, UB sebagai juara III dan top score juga diraih Unsoed oleh Restu Panji dengan mencetak 16 score. Dengan demikian Kejurnas Fapet Unsoed ditutup oleh Ir. Endro Yuwono, MS selaku PD I, Dr. Drh. Muhammad Samsi, MP selaku PD III, dan Bapak Erwin dari Sidoagung.

Walaupun Tim fapet Unsoed menjadi Runner UP tetapi harus diingat bahwa Tim Futsal Unsoed telah berhasil mengharumkan  nama Fakultas Peternakan Universistas Jenderal Soedirman dalam pertandingan Kejurnas Futsal antar Fakultas Peternakan se-Indosesia dengan masuk ke babak final. Tim futsal Fapet Unsoed diharapkan mampu menjadi penyemangat dan tolak ukur bagi mahasiswa Fapet Unsoed untuk terus berkarya. Tim Futsal Fapet siap berlaga menjadi pemenang di kejuaraan-kejuaraan selanjutnya. Fapet Unsoed.. Be Excellent. (nik)

Minggu, 17 November 2013

lembaran baru

haaayyy... akhirnya aku kembali menulis blog yg selama ini terlewatkan
aku kembali dengan cerita baru lhoo.. pasti udah tau cerita apa? cinta ? yapp...
aku membuka lembaran baru alias cerita cinta yang baru, tapi ini bukan hanya sekedar cerita tapi menjadi sebuah kisah nyata yang sedang aku alami. apalagi kalau bukan perasaan yang berbunga-bunga.. 
kisah cinta ku kali ini jatuh pada seseorang yang dibilang ganteng "engga" tapi gendud "iya" . Aneh sih, tapi perasaan ini sudah mendalam lebih dari yang aku kira bahkan lebih dari sebelumnya.. 
Dia itu sosok yang baik, pengertian, friendly, humoris, dewasa, setia dan perhatiiiaaan banget.. Dia itu bukan hanya bisa jadi pacar, tapi dia juga bisa jadi sosok temen, sahabat, abang, bahkan bisa jadi sosok lelaki di masa depan.. Mungkin ini berlebihan, tapi ini berdasarkan yang selama ini aku rasakan..

aku mengenal dia sejak aku semester 2 kemarin, tapi mungkin saat itu posisinya kita sama2 belum dipertemukan cinta nya. . dan entah kenapa kita tidak bisa menjelaskan kapan perasaan kita datang. Mungkin berawal dari terbiasa berkomunikasi, yang membuat kita nyaman dan membuat kita menyatakan perasaan ini.. yap .. (14/Juni/2013).. Tetapi pernyataan kita tersebut belum meyakinkan bahwa kita bersatu. Perlu proses panjang dan kesiapan , sehingga pada saat yang tepat dia meminta ku untuk mendampingi nya. (29/Juni/2013).. saat itu dia datang jauh2 hanya untuk memintaku untuk mendampinginya. . Sejak saat itu aku memberanikan diri untuk mengenalkan dia dengan teman2, dengan sahabat2, bahkan dengan keluargaku sendiri. Alhamdulillah keluarga fine2 aja menerima nya.. 

Hari demi hari kita lewati bersama walaupun dipisahkan oleh jarak. tapi hal itulah yang membuat kita harus berjuang mempertahankan cinta ini, berjuang mengalahkan rasa kangen, berjuang mengalahkan rasa cemburu dsb. Semakin lama bersama nya, semakin membuat kita yakin bahwa kita bisa menggapai impian kita bersama.. Hal yang paling aku senangi ketika dia mengucapkan "semoga kita jodoh", "belajar jadi bini", "mudah2an nanti kita bisa sampai nikah".. Banyak hal dan pemikiran yang baru aku alami denngan nya.. Perbincangan kita pun tidak hanya sekedar melepas rindu, tapi juga memikirkan masa depan kita.. semoga dari sebuah pemikiran itu masa depan kita terwujud.. Bismillah, pasti bisa! Berdoa yah :D
Miss you and love you my future :D

Selasa, 25 Juni 2013

Makalah superovulasi

MAKALAH TEKNOLOGI REPRODUKSI
TEKNIK SUPEROVULASI






OLEH :
KELOMPOK IV

 FANDI RESTU M                          D1E009184
MUHAMAD NUR SIDIK                D1E011139
DINDA YOSI AMANDA                D1E011179
RISMAN ISMAIL                            D1E011014
MUHAMMAD ROSDIAN U          D1E011066
VANY SILVANA F                         D1E011105
INDRA GUNAWAN                       D1E011165
NANIK TRIYATI S                          D1E011247
SHELLY JUM’ANIAR                    D1E011264




KEMENTERIAN  PENDIDIKAN  DAN  KEBUDAYAAN  NASIONAL
FAKULTAS  PETERNAKAN
UNIVERSITAS  JENDERAL  SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2013








BAB I
PENDAHULUAN
1.1.   Latar Belakang
Dalam upaya menjadikan subsektor peternakan sebagai pendorong kemandirian Pertanian Nasional, dibutuhkan terobosan pengembangan sistem peternakan. Dalam percepatan penciptaan bibit unggul ternak, aplikasi bioteknologi reproduksi pada taraf rekayasa proses dan rekayasa genetik seperti MOET (Multiple Ovulation  and Embyo Transfer) , IVF (In Vitro Vertilization), transfer inti, menjadi pilihan strategis yang sangat tepat.
Ternak sapi secara alami hanya dapat menghasilkan anak 6-8 ekor sepanjang hidupnya, meskipun sebenarnya memiliki puluhan ribu potensi oosit. Dalam ovarium sapi terdapat sekitar 140.000 oosit sampai sapi mencapai umur empat sampai enam tahun dan kemudian jumlahnya menurun sampai 25.000 pada umur 10 sampai 14 tahun dan mendekati nol pada umur 20 tahun.
Potensi oosit sapi yang cukup banyak tersebut dapat dioptimalkan dengan introduksi bioteknologi reproduksi antara lain melalui superovulasi (SOV), sehingga sapi unggul dapat menghasilkan anak jauh lebih banyak semasa hidupnya. Superovulasi adalah upaya stimulasi perkembangan folikel dan induksi ovulasi ganda dengan penggunaan hormonal seperti gonadotrophin.
Salah satu masalah utama dalam  program transfer embrio adalah tingginya   variabilitas respon terhadap superovulasi pada induk donor. Padahal kuantitas dan kualitas embrio donor sangat berpengaruh terhadap keberhasilan transfer embrio. Superovulasi merupakan kunci keberhasilan transfer embrio dan tidak hanya ditentukan oleh tingginya laju ovulasi dan jumlah embrio yang diperoleh, tetapi superovulasi dipengaruhi juga oleh berbagai faktor seperti faktor-faktor yang mempengaruhi respon superovulasi pada induk donor, faktor yang mempengaruhi fertilisasi dan viabilitas embrio serta faktor yang berhubungan dengan manajemen induk donor. Hormon yang umum digunakan untuk menginduksi superovulasi pada sapi adalah Follicle Stimulating Hormone (FSH) yang berasal dari hipofisa. FSH merupakan hormon glikoprotein yang mempunyai waktu paruh yang pendek, sehingga memerlukan pemberian secara berulang untuk merangsang aktivitas folikel secara lebih efisien. Berbagai penelitian pengaruh pemberian hormon terhadap respon superovulasi pada induk donor telah dilakukan yaitu dengan menggunakan PMSG, FSH Ovagen, FSH-PTM (FSH from pituitary) baik pada sapi potong maupun sapi perah . Berdasarkan latar belakang tersebut, memerlukan pembahasan lebih lanjut.
1.2.   Tujuan
1.      Mengetahui fungsi dari pengaplikasian teknik super ovulasi dan induksi ovulasi.
2.      Mengetahui hormon- hormon yang di gunakan dalam teknik super ovulasi.
3.      Mengetahui cara melakukan superovulasi dan induksi ovulasi pada ternak.
1.3.   Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud superovulasi?
2.      Hormon apa saja yang digunakan dalam teknik superovulasi?
3.      Faktor apa saja yang dapat mempengaruhi keberhasilan superovulasi?
4.      Bagaimana tingkat keberhasilan teknik superovulasi?









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
  Superovulasi adalah ovulasi sejumlah besar ovum dari seekor betina pada suatu saat dengan penggunaan berbagai hormone. Hormone-hormon tersebut adalah Pregnant Mare Serum (PMSG) atau Follicle Stimulating Hormone (FSH), untuk merangsang pertumbuhan folikular yang di ikuti oleh luteinizing hormone (LH) atau human chorionic gonadotrophin (HCG) untuk merangsang ovulasi (Frandson,1992)
Sampai saat ini terdapat 2 tipe hormon yang paling sering digunakan untuk tujuan superovulasi yakni pregnant mare serum gonadotrophin (PMSG) dan follicle stimulating hormone (FSH). Kedua hormon ini masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Bila dibandingkan dengan penggunaan PMSG, respon ovarium terhadap hormon FSH biasanya lebih baik karena lebih banyak menghasilkan ovulasi, jumlah folikel anovulasi lebih sedikit, lebih banyak embrio yang dapat diperoleh, dan kualitas embrio lebih baik. Kelemahan dari FSH adalah dapat sukar diperoleh di pasar domestik, harganya relatif mahal, dan pemberiannya harus berulang-ulang sehingga mengakibatkan stress dan menurunkan kualitas embrio (Putro, 1996).
Menurut  Hunter (1995),  hormon yang umum digunakan untuk menginduksi superovulasi pada sapi adalah Follicle Stimulating Hormone (FSH) yang berasal dari hipofisa. FSH merupakan hormone glikoprotein yang mempunyai waktu paruh yang pendek, sehingga memerlukan pemberian secara berulang untuk merangsang aktivitas folikel secara lebih efisien. Tahapan superovulasi adalah sebagai berikut:
1.      Sinkronisasi berahi; Penyuntikan hormone Prostaglandin (PG) sebanyak 2 kali dengan jarak waktu 11 hari.
2.      Superovulasi; Penyuntikan PMSG pada hari ke-10 setelah terjadi berahi, dilanjutkan dengan penyuntikan Prostaglandin pada hari ke-2 setelah penyuntikan PMSG dan langsung dicampur dengan pejantan (dilakukan pengamatan perkawinan).
Faktor intrinsik meliputi genetika (keturunan dan individu hewan yang lebih atau kurang sensitif terhadap gonadotropin), fisiologis karakteristik (termasuk usia, kondisi ovarium atau folikular dominasi, dan populasi folikel pada saat superovulasi), status gizi (tubuh kondisi dan defisit atau kelebihan zat gizi) dan kondisi sanitasi (ovarium, rahim dan saluran telur patologi).
Faktor ekstrinsik mencakup penggunaan berbeda komersial persiapan FSH (rekombinan atau hipofisis yang diturunkan FSH dengan berbagai jumlah LH, EKG, HMG, dan inhibin), dosis, rute dari aplikasi, musim, dan manajemen pertanian (Sorensen, 1979). Ketat evaluasi pengaruh ini faktor produksi embrio dapat memberikan kontribusi yang lebih baik merencanakan program transfer embrio, dengan lebih perhatian diberikan kepada faktor yang paling relevan.
Inisiasi sebuah folikel gelombang menggunakan perawatan ini memungkinkan awal superstimulation pada tahap acak dari oestrous siklus (Lauria, 1982). GnRH pengobatan dan ablasi folikel pada setiap tahap dari siklus oestrous menawarkan keuntungan dari initiating superstimulatory pengobatan segera dan memastikan bahwa pengobatan bertepatan dengan saat munculnya gelombang folikel sehingga suatu respon superovulatory yang optimal dapat dicapai. Selanjutnya, siklus oestrous seluruh tersedia untuk superstimulation, menghilangkan kebutuhan untuk deteksi estrus dan menunggu 8 sampai 12 hari sebelum memulai pengobatan gonadotropin (Amstrong, 1983.).
Jumlah embrio ditransfer dikumpulkan tidak meningkat oleh pengobatan GnRH dan follicular aspirasi 2 hari sebelum superstimulation, meskipun respon ovulasi meningkat perawatan ini (Lauria, 1982). Efeknya sinkronisasi folikular dengan GnRH pada horMonal dan folikel respon sebelum dan selama superovulasi telah ditandai (Lauria, 1982.) tetapi pengaruhnya terhadap produksi embrio memilikibelum didefinisikan dengan jelas.

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.   Hasil

Keterangan : Gambar 1 ( Hormon FSH untuk injeksi )
                       Gambar 2 ( Hormon FSH untuk implant)
Metode yang digunakan : Injeksi dan Implan
3.2.     Pembahasan
Superovulasi masih merupakan suatu cara yang paling umum digunakan untuk meningkatkan jumlah keturunan dari sapi betina unggul secara cepat, selain itu  superovulasi sering juga disebut multipleovulasi yaitu salah satu upaya meningkatkan efisiensi reproduksi, terutama terhadap hewan yang secara alami tergolong beranak tunggal. Istilah superovulasi lebih populer daripada multipleovulasi. Pada multipleovulasi cenderung hanya mengacu pada arti kwantitas atau jumlah yang lebih banyak. Sedang superovulasi dapat meliput kedua pengertian, yaitu kwantitas dan kwalitas atau lebih baik dan lebih banyak,  dengan pengertian bahwa dalam program superovulasi sekaligus melakukan seleksi, memilih hanya terhadap hewan yang mempunyai nilai genetis superior (dijadikan induk donor) yang dilipatgandakan jumlah sel telurnya setiap kali peristiwa ovulasi. Kemudian dilakukan insemenasi buatan, IB (fertilisasi in vivo) sehingga diperolah embrio dengan kwalitas unggul dan jumlah lebih banyak, yang selanjutnya dicangkok (transfer embrio) pada induk-induk resipen.
Sementara ini superovulasi baru diterapkan pada spesies sapi dalam program breeding untuk menunjang pemberdayaan bioteknologi reproduksi transfer embrio. Berbagai faktor banyak yang mempengaruhi keberhasilan perolehan embrio, antara lain adalah respon individu dari sapi donor tersebut terhadap perlakuan hormonal. Respon individu sapi donor banyak dipengaruhi kecermatan memilih waktu yang tepat, saat terjadinya gelombang folikuler yang terjadi pada setiap siklus birahi.
Berdasarkan teori masa lalu, gelombang folikuler diperkirakan terjadi pada pertengahan siklus birahi yang sekaligus pertengahan fase luteal, yaitu berkisar antara hari ke 9 sampai ke 12 mengacu pada lamanya siklus birahi sapi yang rata-rata 21 hari (18-24 hari). Hari-hari antara 9-12 itulah yang sementara ini diyakini sebagai hari-hari baik untuk melaksanakan program superovulasi, yang hasilnya ternyata juga tidak pasti atau bersifat untung-untungan. Pada penelitian terbaru ternyata gelombang folikuler tidak selalu terjadi pada petengahan siklus birahi dan pertengahan fase luteal sebagaimana keyakinan selama ini. Lebih dari itu gelombang folikuler juga tidak hanya teradi satu kali saja. Tergantung fertilitas masing-masing individu, pada sapi terdapat tiga pola gelombang folikuler, yaitu masing-masing satu, dua atau tiga gelombang folikuler .
Superovulasi adalah suatu usaha yang dilakukan untuk mendapatkan ovum  lebih banyak dibandingkan dengan keadaan normalnya dengan memberikan hormon dari luar , untuk merangsang terjadinya ovulasi ganda, maka diberikan hormon superovulasi sehingga diperoleh ovulasi sel telur dalam jumlah besar. Hormon yang banyak digunakan untuk rekayasa superovulasi adalah hormon gonadotropin seperti Pregnant Mare’s Serum Gonadotripin (PMSG) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH). Penyuntikan hormon gonadotropin akan meningkatkan perkembangan folikel pada ovarium (folikulogenesis) dan pematangan folikel sehingga diperoleh ovulasi sel telur yang lebih banyak. Hormon FSH mempunyai waktu paruh hidup dalam induk sapi antara 2-5 jam. Pemberian FSH dilakukan sehari dua kali yaitu pada pagi dan sore hari selama 4 hari dengan dosis 28 - 50 mg (tergantung berat badan). Perlakuan superovulasi dilakukan pada hari ke sembilan sampai hari ke 14 setelah berahi.
          Menurut Hunter  (1995), FSH berfungsi merangsang pertumbuhan folikel yang muda menjadi matang, sehingga dapat diovulasikan dan siap difertilisasi setelah inseminasi. Penyuntikan FSH (pituitary FSH) dengan dosis menurun dan pada 48 jam sesudahnya diberi pada sapi Holstein juga menghasilkan jumlah embrio hasil koleksi dan jumlah embrio layak transfer yang lebih tinggi dibandingkan dengan penyuntikan tunggal (Takedomi et al., 1993). Dhanani et al. (1991) melakukan penyuntikan FSH terhadap sapi Brahman menghasilkan jumlah CL rata-rata sebesar 10,6 per induk, jumlah embrio koleksi sebanyak 7,2 dan jumlah embrio layak transfer sebanyak 5,5 embrio per induk.
Superovulasi di Balai Embrio Ternak sudah lama dilakukan sejak Balai Embrio Ternak tersebut berdiri. Superovulasi yang telah dilakukan menggunakan 2 metode  yaitu metode injeksi dan implan. Metode injeksi dengan menyuntikkan ternak sapi di bagian subcutan dan metode implant dengan cara memasukkan sidar yang telah mengandung hormon FSH ke bagian tuba fallopi ternak sapi tersebut.
Superovulasi dapat diinduksi secara buatan melalui pemberian hormon  gonadotropin eksogen (berasal dari luar tubuh), misalnya Follicle Stimulating
Hormon (FSH) dan Pregnant Mare Serum Gonadotropine (PMSG). Pemberian hormon tersebut dengan dosis tertentu akan menstimulasi proses pertumbuhan, perkembangan, pematangan dan ovulasi dari sejumlah besar folikel  pada ternak sapi. Betina donor diinjeksikan setiap hari dengan FSH yang dapat berasal dari ekstrak hipofise babi dan domba atau dari ekstrak hipofise sapi. Donor tertentu akan memerlukan penambahan LH selain FSH, namun umumnya preparat FSH yang dijual sudah  ditambahkan dengan LH. (Lopez, 2005)
Preparat hormon yang sudah sering digunakan dan diteliti untuk superovulasi adalah preparat hormon PMSG.Tetapi memiliki beberapa efek samping yang dapat menyebabkan gangguan reproduksi seperti terjadinya folikel sistik. Dosis yang terlalu tinggi pada superovulasi dapat menyebabkan stimulasi ovarium yang berkepanjangan, hal  ini dapat menimbulkan sistik folikel dan dapat pula menimbulkan berkurangnya kualitas sel telur yang dihasilkan (Hermadi et al., 2005). Maka diperlukan hormon alternatif seperti hMG (Human Menopause Gonadotropin)yang memiliki fungsi FSH-LH like dengan proporsi yang lebih seimbang dan diharapkan dapat memperkecil ataupun meniadakan jumlah folikel yang tidak terovulasikan.
Parameter keberhasilan suatu usaha superovulasi dapat dilihat dari beberapa
faktor. Salah satu faktor yang diperiksa untuk menentukan faktor keberhasilan  superovulasi adalah penghitungan korpus luteum (CL) yang ada. Penghitungan CL sering dipakai pada penelitian mengenai superovulasi untuk mengukur keberhasilan superovulasi. Korpus luteum merupakan kelanjutan dari rongga folikel yang telah  berovulasi yang mengalami proses luteinisasi yang membentuk tenunan–tenunan dan mensekresikan hormon progesteron. (Hardopranjoto, 1995). Sehingga dengan menghitung jumlah CL yang ada maka dapat diketahui tingkat keberhasilan hormon gonadotropin dalam menginduksi folikel-folikel yang berovulasi pada usaha superovulasi. Faktor lainnya adalah jumlah embrio yang didapat setelah diflushing.  Efisiensi dari usaha superovulasi sendiri terpengaruhi oleh adanya abnormalitas yang  muncul, seperti adanya folikel anovulatorik atau folikel sisa / yang tidak terovulasikan dari superovulasi (Lopez A. et al., 2005).



BAB III
PENUTUP
3.1.     Kesimpulan
Superovulasi merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk mendapatkan ovum  lebih banyak dibandingkan dengan keadaan normalnya dengan memberikan hormon dari luar, Tahapan superovulasi adalah sebagai berikut:
1.      Sinkronisasi berahi; Penyuntikan hormone Prostaglandin (PG) sebanyak 2 kali dengan jarak waktu 11 hari.
2.      Superovulasi; Penyuntikan PMSG pada hari ke-10 setelah terjadi berahi, dilanjutkan dengan penyuntikan Prostaglandin pada hari ke-2 setelah penyuntikan PMSG dan langsung dicampur dengan pejantan (dilakukan pengamatan perkawinan).
Hormon yang banyak digunakan untuk rekayasa superovulasi adalah hormon gonadotropin seperti Pregnant Mare’s Serum Gonadotripin (PMSG) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH).
3.2.     Saran
                    1.   Metode superovulasi tidak boleh terlalu sering dilakukan karena dapat merusak siklus ovulasi terhadap ternak tersebut.









DAFTAR PUSTAKA
Hunter, R. H. F., 1995. Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik.
              Penerbit ITB. Bandung.p: 42, 51 – 56, 73 – 97, 281
Lopez.A, Veiga., Bulnes A., Gonzales et al. 2005. Causes, characteristics and
  consequences of anovulatory follicles in superovulated sheep. Domestic Animal endocrinology Feb; 30 (2); 76-78.
Hermadi HA, 2003. Ujicoba PMSG Trans Ovari untuk Kasus Hypofungsi Ovarium
              Sapi Perah. Hibah Bersaing 2003 Universitas Airlangga.
Hardjopranjoto, S., 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Airlangga University Press,
              Surabaya
Frandson,R.D.1992.Anatomi dan fisiologi ternak. Gajah Mada University perss:
              Yogyakarta
Putro, P.P. 1996. Teknik superovulasi untuk transfer embrio pada sapi. Bull. FKH UGM XIV(1):1-20.
Sorensen, A.M. 1979. Animal Reproduction Principles and Pratices. H.C. Grow –
              Hill Book Company P. 212,346 – 353.
Lauria, A.A., A. Genazzani, O. Oliva, P. Inandi, F. Cremonesi, and C. Monitola.

1982a. Clinical and endocrinological investigations on superovulation induced in heifers by human menopausal gonadotropin (HMG). J. Reprod. Fertil. 66.219